Kamis 24 Sep 2020 14:57 WIB

Kuasa Hukum Pinangki Sebut Beberapa Poin Dakwaan Jaksa Aneh

Kuasa hukum Pinangki mengatakan beberapa poin dakwaan terharap kliennya aneh.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Terdakwa kasus suap pengurusan pengajuan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari (tengah) berjalan keluar ruangan usai mengikuti persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020). Pinangki didakwa menerima suap USD 500 ribu dari USD 1 juta yang dijanjikan oleh Djoko Tjandra. Pinangki juga diduga melakukan TPPU untuk memenuhi kebutuhan pribadinya seperti pembelian mobil BMW, perawatan kecantikan, dan perawatan home care.
Foto: MUHAMMAD ADIMAJA/ANTARA
Terdakwa kasus suap pengurusan pengajuan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari (tengah) berjalan keluar ruangan usai mengikuti persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020). Pinangki didakwa menerima suap USD 500 ribu dari USD 1 juta yang dijanjikan oleh Djoko Tjandra. Pinangki juga diduga melakukan TPPU untuk memenuhi kebutuhan pribadinya seperti pembelian mobil BMW, perawatan kecantikan, dan perawatan home care.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi Pinangki Sirna Malasari, Aldres Napitupulu mengatakan beberapa materi dakwaan terhadap kliennya 'tidak nyambung'. Aldres juga membantah apa yang disampaikan jaksa, jika kliennnya berinisiatif bertemu dengan Djoko Tjandra.

"Misalnya, dalam dakwaan pertama, terdakwa dituduh menerima janji sejumlah uang  500 ribu dollar AS dari 1 juta dollar AS yang dijanjikan oleh Djoko Tjandra, " kata Aldres dalam keterangannya, Kamis (24/9). 

Baca Juga

Namun, Aldres melanjutkan dalam dakwaan ketiga, terdakwa bermufakaat memberikan uang kepada pihak lain dengan jumlah yang sama. "Ini menurut kami cukup aneh. Ketika seorang terdakwa dituduh sebagai penerima dan juga dituduh sebagai pemberi. Ini yang menjadi salah satu poin keberataan kami minggu depan," tegasnya.

Selain itu, Aldres juga membantah pengakuan Jaksa Pinangki berinisiatif bertemu Djoko Tjandra pada September 2019. Menurutnya, tidak ada pengakuan itu dalam berkas perkara. 

"Kami tidak tahu dari mana sumber tuduhan itu. Itu tidak ada dalam berkas perkara," ujarnya.

Demikian juga dengan dakwaan terkait rancangan membuat 10 action plan. Aldres mengatakan action plan itu bukan berasal dari Pinangki Sirna Malasari. Kliennya bahkan tidak tahu menahu soal action plan.

"Itu juga tidak jelas, asalnya dari mana dan siapa yang buat. Jaksa sendiri sudah mengaku. Dari 10 action plan itu, tidak ada yang terlaksana atau enggak yang jadi. Dan Jaksa tadi 3 kali menyebutkan, itu tidak terlaksana," jelasnya.

Aldres menegaskan banyak materi dakwaan JPU yang tidak sesuai. Karena itu, Tim Kuasa hukum mengajukan eksepsi. Namun, Aldres tidak menyampaikan secara detail materi dakwaan yang menjadi keberataannya.

"Tanggapan resminya akan kami sampaikan dalam eksepsi yang akan sampaikan Minggu depan. Intinya, kami keberataan terhadap beberapa hal terkait isi dakwaan. Detail keberataan kami, tidak bisa kami sampaikan sekarang. Poinnya, kita sampaikan minggu depan saja," ujar Aldres. 

Pinangki didakwa dengan tiga dakwaan berlapis. Dakwaan pertama, Pinangki didakwa telah menerima suap 500 ribu dollar AS dari 1 juta dollar AS yang dijanjikan oleh Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra selaku terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

Dalam dakwaan kedua, Pinangki  didakwa  Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan  Pemberantasan Tindak  Pidana Pencucian Uang.  

Sementara dakwaan ketiga yakni tentang untuk pemufakatan jahat, Pinangki  didakwa melanggar Pasal 15  Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo. Pasal 88 KUHP.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement