Senin 09 Aug 2021 14:07 WIB

Pengamat: Semangat KPK Berantas Hukum Sudah Memble

Semangat pemberantasan korupsi di kalangan hakim Mahkamah Agung (MA) pun menurun.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Agus Yulianto
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, semangat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memicu memberantas hukum dan melakukan OTT sudah turun. Sehingga, lembaga KPK tidak lagi diharapkan masyarakat.

"Ya dengan pertunjukkan yang dilihatkan pimpinan seperti ini, KPK menjadi lembaga yang biasa-biasa saja. Tidak terlihat kalau lembaga ini memang sebagai lembaga yang diharapkan masyarakat. Sudah memble," katanya saat dihubungi Republika, Senin (9/8).

Menurutnya, semangat pemberantasan korupsi di kalangan hakim Mahkamah Agung (MA) pun sudah menurun, terutama biasanya pada hakim-hakim yang memasuki masa pensiun. Ini bisa terjadi karena kejenuhan, tapi yang pasti karena menurunnya semangat memberantas korupsi.

"Dan yang terjadi itu kemungkinan penyakit lama yang menahun, menempatkan kewenangan memutus sebagai komoditas. Yang bisa dijualbelikan," kata dia.

Dia menambahkan, jika seperti ini terus hukum di Indonesia tidak bisa diharapkan. Harus ada perubahan cara pandang hukum. "Ya mudah mudahhan kalau pimpinan KPK nanti diganti harus lebih baik," kata dia.

Sebelumnya diketahui, Majelis Hakim PT DKI Jakarta, pada Rabu (28/7) memutuskan mengabulkan banding Djoko Tjandra terkait perkara korupsi suap red notice. Dalam putusan tersebut, PT DKI Jakarta mengubah hukuman 4,5 tahun penjara dari PN Tipikor Jakarta, menjadi hanya 3 tahun 6 bulan. 

Putusan hakim tinggi tersebut, lebih ringan dari tuntutan JPU saat persidangan tingkat pertama, yang meminta hakim PN Tipikor memenjarakan Djoko Tjandra selama empat tahun.

Dalam kasus ini, Djoko Tjandra adalah terpidana terkait korupsi cessie Bank Bali 1999 yang merugikan negara Rp 944 miliar. Dia sempat menjadi buronan interpol, dan Kejaksaan Agung (Kejakgung) selama 11 tahun sejak MA memvonisnya bersalah, dan dihukum penjara selama dua tahun pada 2012. 

Pada Juli 2020, Bareskrim Polri menangkapnya di Malaysia, dan membawanya pulang ke Jakarta, setelah kedapatan pulang-pergi Indonesia-Kuala Lumpur sepanjang Maret-April 2020.

Dari penangkapan tersebut, terungkap Djoko Tjandra, memberikan suap kepada Kadiv Hubinter Mabes Polri Irjen Napoleon Bonaparte, senilai 200 ribu dolar Singapura, dan 370 ribu dolar Amerika. 

Djoko Tjandra juga menyuap kepada Korwas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo, senilai 100 ribu dolar Amerika. Pemberian uang tersebut, lewat seorang pengusaha Tommy Sumardi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement