Kamis 05 Aug 2021 16:19 WIB

MAKI: Pinangki Belum Dipecat dan Masih Dapat Gaji

MAKI mendesak Jaksa Agung segera memecat terpidana korupsi Pinangki Sirna Malasari

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin, memecat Pinangki Sirna Malasari dari status kepegawaian di Kejaksaan Agung (Kejakgung). Kordinator MAKI, Boyamin Saiman mengatakan, meskipun Pinangki saat ini sudah berstatus terpidana korupsi, akan tetapi, status aparatur sipil negara (ASN), masih melekat pada penerima suap dari Djoko Sugiarto Tjandra tersebut.

Bahkan, kata Boyamin, sampai saat ini, Pinangki, masih mendapatkan upahnya sebagai ASN di Kejakgung. Padahal, kata Boyamin, status hukum Pinangki, sudah inkrah dengan telah dilakukan eksekusi ke penjara. MAKI, kata Boyamin, meminta Jaksa Agung Burhanuddin mengumumkan pemecatan Pinangki dengan catatan pelucutan jabatan dan kepegawaian secara tak hormat.

Baca Juga

"Pinangki, meskipun sudah terpidana, tetapi belum dipecat sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). Dan diduga masih mendapatkan gaji 50 persen, dari gaji pokok," ujar Boyamin saat dihubungi, dari Jakarta, Kamis (5/8). 

"Padahal, sesuai ketentuan hukum, PNS yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, dan putusannya sudah inkrah, maka langsung diberhentikan dengan cara tidak hormat," katanya menambahkan.

Status kepegawaian Pinangki di Kejakgung, adalah sebagai jaksa yang menjabat Kepala Sub Baguan Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan, dengan golongan PNS, Eselon IV. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, menghukumnya 10 tahun penjara karena terbukti menerima suap, dan gratifikasi senilai 500 ribu dolar AS, atau setara Rp 7,5 miliar, dari janji 1 juta dolar pemberian terpidana korupsi Djoko Tjandra. 

Hakim juga menyatakan Pinangki melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Putusan dari PN Tipikor tersebut, berkurang setelah Pinangki mengajukan banding. Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, merabat hukuman terhadap Pinangki, hanya menjadi empat tahun penjara. 

Atas putusan hakim tinggi tersebut, jaksa penuntutan dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), maupun Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat, menerima pengurangan hukuman tersebut, dengan menyatakan tak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). 

Meski sikap jaksa yang tak mengajukan upaya hukum luar biasa ke MA mendapat kecaman, akan tetapi kejaksaan tetap melakukan eksekusi. Pada Senin (2/8) lalu, Kejari Jakpus, mengeksekusi Pinangki ke penjara perempuan dan anak Kelas II B di Tangerang, Banten. 

Eksekusi tersebut, pun setelah publik mengkritik Kejakgung, yang hanya menempatkan Pinangki ke Rumah Tahanan (Rutan) Kejakgung, di Komplek Kejakgung, di kawasan Blok-M, Jakarta Sealtan (Jaksel) tempat Pinangki berkantor sebelum skandalnya mencuat. Terkait kepegawaian Pinangki, sejak ditetapkan tersangka korupsi oleh Jampidsus, Selasa (11/8) 2020 lalu, Kejakgung memang belum melakukan pemecatan. 

Beberapa hari setelah berstatus tahanan, Kejakgung hanya mengumumkan Pinangki sebagai pegawai kejaksaan, yang dinonaktifkan sementara dari jabatan, dan kepegawaiannya. Selama penonaktifan tersebut, Pinangki masih mendapatkan hak upah bulanan sebagai ASN, sampai menunggu kepastian hukum dari pengadilan.

Sampai saat ini, meskipun sudah sebagai terpidana, Pinangki diduga masih menerima gaji bulanan sebagai jaksa dan pegawai negara di kejaksaan. Republika.co.id menanyakan status kepegawaian, dan upah yang tetap berjalan untuk Pinangki tersebut ke Kejakgung. Akan tetapi, tak ada yang memberikan respons. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjuntak, pun tak merespons pertanyaan apakah Kejakgung, sudah melakukan pemecatan terhadap Pinangki.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement