REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron, menyatakan izin geledah dan izin sita yang diatur dalam Undang-Undang (UU) KPK baru memang menambah prosedur perizinan. Nurul mengakui, kekhawatiran yang dirasakan Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan, bisa saja terjadi.
"Kami tidak bisa menggambarkan ini sebagai memperlambat atau menghambat, tidak. Tetapi menambah prosedur lagi. Sehingga kemudian kekhawatiran sebagaimana disampaikan Pak Novel Baswedan tadi memang bisa terjadi," ujar Nurul dalam sidang lanjutan uji materi UU KPK baru secara daring dengan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (23/9).
Nurul menggambarkan proses perizinan tersebut. Penyidik atau penyelidik mulanya ditugaskan untuk menggeledah di suatu lokasi. Ketika penggeledahan dilakukan dan ditemukan suatu barang, dilakukanlah penyusunan daftar barang-barang yang dibutuhkan untuk dijadikan sebagai barang bukti.
"Penyelidik itu kemudian meminta, merestruktur kembali, dari Kasatgas ke direktur, direktur ke deputi, deputi ke pimpinan, baru kemudian ke Dewas untuk kembali meminta izin sita," kata dia.
Dia juga menyatakan, independensi KPK tidak terpengaruh dengan status pegawai KPK yang akan menjadi aparatur sipil negara (ASN). Menurut dia, KPK merupakan auxiliary body yang independensinya terukur dalam tiga hal, yakni otonom atau mandiri dalam membuat regulasi, mandiri dalam penegakan hukum, dan mandiri dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM).
"Otonom dalam penegakan hukum. Dalam hal ini operasional kelembagaan, yaitu ukurannya adalah pro justicia," kata dia.
Dia menekankan, sejauh ini ketiga hal itu KPK masih independen. Dengan demikian, kata dia, status ASN yang akan diemban oleh para pegawai KPK sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkan. Status ASN para pegawai KPK tidak akan mengganggu ketiga hal yang menurutnya dapat diukur tadi.
"Walaupun status pegawai KPK menjadi ASN tetapi regulasinya KPK sendiri yang mengatur, manajemen SDM-nya KPK sendiri yang mengatur, kemudian juga operasionalnya. Dalam hal ini operasional, baik pencegahan maupun operasional pro justicia, masih kami yang mengatur," terang dia.
Dia juga mengatakan di hadapan para hakim MK, praktik pemerasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum yang ada di daerah memang masih terjadi. Menurut Nurul, itu terjadi dari Sabang hingga Merauke.
Untuk itu, kantor cabang KPK di daerah diperlukan. "Maka kalau kami kemudian melakukan pencegahan dan penindakannya berbasis dari Jakarta, sangat tidak efisien," kata Nurul.
Nurul menerangkan, situasi pandemi Covid-19 saat ini membuktikan ketidakefisienan tersebut. Dia menuturkan, tidak mungkin KPK akan menugaskan pegawainya ke daerah karena akan menemui banyak hambatan yang dapat berimplikasi kepada kesehatan mereka.
"Misalnya perlu tes rapid, swab, yang ke daerah-daerah yang kemudian masih diperlukan. Seandainya itu sudah ada di lapangan, sudah ada di daerah, kendala itu tidak akan terjadi," terangnya.
Harapan Novel
Pada kesempatan yang sama, Novel pada berharap agar MK mencegah pelemahan KPK lewat UU KPK baru. Dia mengatakan, KPK lahir dari adanya reformasi dan diamanatkan dalam TAP MPR nomor VIII.
"Artinya ketika ada semua hal terkait pelemahan KPK pastilah itu harus dipandang sebagai pengingkaran amanat reformasi," kata Novel.
Novel menekankan empat hal dalam keteragannya, yakni penyadapan, penggeledahan, penyitaan dan penghentian penyidikan serta penuntutan. Dia mengatakan, KPK berdasarkan UU KPK lama tidak memerlukan izin manapun untuk melakukan penyadapan.
"Hal ini bukan berarti tidak ada pengawasan karena proses tersebut dilakukan dengan berjenjang," kata dia.
Dia menjelaskan, penyadapan dilakukan mulai dari penyelidikan, penyidikan atau penuntutan. Ia mengatakan, penyadapan dilakukan dengan pengajuan fungsional pada struktur dan direktur yang disampaikan kepada deputi dan pimpinan untuk mendapat persetujuan.
Dia melanjutkan, sedangkan dalam UU baru KPK ditentukan bahwa perlu disetujui atau tidak izin dari dewan pengawas untuk melakukan penyadapan. Menurutnya, proses ini membuat penyadapan menjadi semakin panjang karena tidak bisa dilakukan dalam tempo singkat.
"Padahal ketika ditemukan (tindak pidana korupsi), dibutuhkan tindakan yang cepat dan segera. Sedangkan kalau proses tidak dilakukan segera ini berpotensi menghilangkan alat bukti dan ini beberapa kali terjadi," katanya.
Dia mengatakan, UU KPK baru itu melemahkan proses penegakan hukum yang dilakukan KPK. Dia melanjutkan, UU hasil revisi itu juga tidak menjamin akuntabilitas misal dalam hal wewenang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan.