REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi jaksa Pinangki Sirna Malasari didakwa dengan tiga dakwaan berlapis. Dakwaan pertama, Pinangki didakwa telah menerima suap 500 ribu dollar AS dari 1 juta dolar AS yang dijanjikan oleh Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra selaku terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
"Telah menerima pemberian uang atau janji berupa uang sebesar 500 ribu dolar AS dari sebesar 1 juta dolar AS yang dijanjikan oleh Joko Soegiarto Tjandra sebagai pemberian fee dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," ujar jaksa Kemas Roni, membacakan surat dakwaannya dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (23/9).
Dalam dakwaan uang suap itu diterima Pinangki untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejakgung) agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK (Peninjauan Kembali) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana.
Dalam mengurus fatwa tersebut Pinangki melakukannya bersama Andi Irfan Jaya dan Anita Kolopaking. Dalam dakwaan disebutkan, sebanyak tiga kali Pinangki menemui Djoko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia pada November 2019 lalu.
Disebutkan bahwa Pinangki, Anita, Djoko Tjandra dan Andi Irfan bertemu di The Exchange 106, Kuala Lumpur Malaysia untuk mematangkan action plan (rencana aksi/renaksi) Djoko Tjandra terkait mengurus kepulangan dengan menggunakan sarana fatwa MA melalui Kejagung. Dalam action plan itu, muncul nama Burhanuddin dan Hatta Ali.
Namun, dalam dakwaan, tidak disebutkan jabatan detail Burhanuddin dan Hatta Ali. Burhanudin hanya disebutkan sebagai pejabat di Kejakgung, sementara Hatta Ali disebutkan sebagai pejabat di Mahkamah Agung (MA).
In Picture: Bareskrim Periksa Jaksa Pinangki di Rutan Salemba
Dalam dakwaan diterangkan secara rinci 10 action plan Pinangki. Untuk action plan poin pertama adalah penandatangan Akta Kuasa Jual sebagai jaminan bila security deposit yang dijanjikan Djoko Tjandra tidak terealisasi dan akan dilaksanakan pada 13- 23 Febuari 2020. Penanggung jawab di poin pertama adalah Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya.
Kemudian di poin kedua, pengiriman surat dari pengacara kepada pejabat Kejakgung, Burhanuddin (BR) yakni surat permohonan fatwa MA dari pengacara kepada Kejakgung untuk diteruskan kepada MA yang akan dilaksankan pada 24-25 Februari 2020.
Dalam poin aksi ketiga adalah pejabat Kejakgung, Burhanuddin mengirimkan surat permohonan fatwa MA kepada pejabat MA Hatta Ali (HA). Pelaksanan aksi itu dilakukan pada 26 Februari - 1 Maret 2020 dengan penanggung jawab Andi Irfan Jaya dan Pinangki. Diketahui, pada Maret 2020, Hatta Ali masih menjabat sebagai Ketua MA.
Kemudian di poin aksi keempat disebutkan skala pembayaran 25 persen fee sebesar 250 ribu dollar AS dari total 1 juta dolar AS yang telah dibayar uang mukanya sebesar 500 ribu dolar AS dengan penanggung jawab Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020.
Poin aksi kelima yakni pembayaran konsultan fee media kepada Andi Irfan Jaya sebesar 500 ribu dolar AS untuk mengondisikan media dengan penanggung jawab Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020. Pada poin aksi keenam disebutkan pejabat MA Hatta Ali menjawab surat pejabat Kejagung Burhanuddin. Penanggung jawabnya adalah Hatta Ali atau DK atau AK yang akan dilaksanakan pada 6-16 Maret 2020.
Pada poin ketujuh, pejabat Kejakgung, Burhanuddin menerbitkan instruksi terkait surat Hatta Ali yaitu menginstruksikan kepada bawahannya untuk melaksanaan fatwa MA. Penanggung jawaab adalah IF (belum diketahui)/P (Pinangki) yang akan dilaksanakan pada 16-26 Maret 2020.
Selanjutnya poin aksi kedelapan adalah security deposit cair yaitu sebesar 10 ribu dolar AS. Artinya, Djoko Tjandra bakal membayar uang tersebut apabila action plan kedua, ketiga, keenam dan ketujuh berhasil dilaksanakan. Penanggung jawabnya adalah Djoko Tjandra. Aksi ini akan dilaksanakan pada 26 Maret - 5 April 2020.
Selanjutnya poin aksi kesembilan, Djoko Tjandra disebutkan kembali ke Indonesia tanpa menjalani eksekusi pidana penjara selama 2 tahun. Penanggung jawab poin aksi kesembilan ini adalah Pinangki/Andi Irfan Jaya/Joko Tjandra yang dilaksanakan pada April-Mei 2020.
Kemudian, pada poin aksi ke-10, yakni pembayaran fee 25 persen yaitu 250 ribu dolar AS sebagai pelunasan atas kekurangan pemeriksaan fee terhadap Pinangki bila Djoko Tjandra kembali ke Indonesia seperti action plan kesembilan. Penanggung jawab adalah Joko Tjandra yang akan dilaksanakan pada Mei-Juni 2020.
Namun, kata JPU, kesepakatan action plan tersebut tidak terlaksana satu pun. Padaha,l Djoko Tjandra telah memberikan uang muka sebesar 500 ribu dolar AS sehingga Djoko Tjandra pada Desember 2019 membatalkan rencana aksi dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dengan tulisan tangan 'NO' kecuali action plan poin ketujuh dengan tulisan tangan 'bayar nomor 4,5' dan action kesembilan dengan tulisan 'bayar 10 M' yaitu bonus kepada terdakwa bila Djoko kembali ke Indonesia.
Melalui tim kuasa hukumnya, Aldres Napitupulu, Pinangki menyatakan akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan JPU. Tim kuasa hukum meminta diberikan waktu satu pekan untuk menyusun nota eksepsi.
"Mohon waktu satu minggu untuk mengajukan keberatan terdakwa," kata Aldres usai mendengarkan dakwaan JPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (23/9).
Aldres menyebut, dalam dakwaan kesatu kliennya dituduh menerima janji sejumlah uang dari Djoko Tjandra. Namun, pada dakwaan ketiga disebut bermufakat jahat untuk memberikan uang kepada pihak lain dengan jumlah yang sama.
"Ini menurut kami cukup aneh, ketika terdakwa dituduh sebagai penerima, tapi dituduh juga sebagai pemberi. Itu yang akan menjadi salah satu poin keberatan kami," ujar Aldres.