REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tak bisa memberikan sanksi administrasi berupa diskualifikasi bagi calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan Covid-19. Sebab, KPU harus mendasarkan sanksi pada undang-undang (UU).
"Sedangkan ada pertanyaan bisa nggak KPU mendiskualifikasi, saya kira tidak. Karena diskualifikasi ini adalah masalah yang sangat prinsip tentu KPU harus mendasarkannya kepada undang-undang," ujar Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dalam diskusi daring, Senin (21/9).
Ia mengatakan, KPU sedang merancang beberapa opsi pemberian sanksi. Akan tetapi, KPU terlebih dahulu akan melakukan sosialisasi, koordinasi, dan edukasi kepada masyarakat.
KPU berharap tidak ada tindakan represif yang hanya memikirkan soal sanksi, melainkan juga mempertimbangkan aspek partisipatif. Namun, apabila KPU sudah melakukan sosialisasi dan koordinasi dan tetap juga ada yang melanggar, sanksi peringatan tertulis dapat dijatuhkan.
"Kalau ada yang tetap melanggar jadi bisa saja peringatan tertulis, dihentikan kegiatan kampanyenya yang melanggar itu dihentikan," kata Raka.
KPU akan berkoordinasi dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk menentukan pelanggaran atau tidak. Jika Bawaslu menyatakan hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran, bisa saja Bawaslu berkoordinasi dengan kepolisian untuk menghentikan kegiatan kampanye.
"Tetapi bagi yag tidak melanggar tentu harus dilindungi, didorong sesuai dengan haknya. Tapi bagi yang melanggar perlakuannya demikian," tutur Raka.
Selain itu, KPU juga mempertimbangkan opsi pengurangan hak kampanye dari segi waktu sebagai sanksi administrasi. Misalnya, jika seseorang melanggar jenis kampanye tertentu maka bisa jadi selama tiga hari kemudian yang bersangkutan tidak boleh melakukan jenis kampanye yang dilanggarnya itu.
"Sementara upaya-upaya pengaturan administratif tentu saya kira itu memungkinkan dengan mempertimbangkan kewenangan yang ada dan situasi atau kebutuhan yang lebih luas," jelas Raka.