REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Bambang Noroyono
Kejaksaan Agung (Kejakgung) telah resmi melimpahkan perkara korupsi dan pencucian uang (TPPU) tersangka jaksa Pinangki Sirna Malasari, ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor), Jakarta Pusat, Kamis (17/9). Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pun telah menjadwalkan sidang perdana Jaksa Pinangki Sirna Malasari pada pekan depan.
Perkara dugan suap dan TPPU Pinangki terdaftar dengan nomor perkara 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst. Pengadilan Tipikor telah menetapkan susunan Majelis Hakim dan tanggal sidang perdana Pinangki.
"Setelah saya koordinasikan dengan Majelis Hakimnya maka hari sidang pertamanya telah ditetapkan oleh Majelis Hakimnya yaitu hari Rabu (23/9) pekan depan," ujar Humas PN Jakpus Bambang Nurcahyo saat dikonfirmasi, Jumat (18/9).
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai. Kejakgung terlalu terburu-buru melimpahkan berkas perkara dugaan suap dan pencucian uang Jaksa Pinangki ke Pengadilan Tipikor Jakarta. Boyamin menduga langkah terburu-buru tersebut dilakukan untuk melokalisir perkara hanya pada Pinangki dan menutupi pihak lain yang terlibat dalam perkara Djoko Tjandra.
"Kalau boleh mendugalah adanya kejanggalan karena nampak buru-buru itu menutupi pihak-pihak lain. Dan pihak-pihak lain itu ada nampak kemudian yang bisa lebih besar dan lebih tinggi jabatannya. Pelimpahan ini semata-mata nampaknya untuk melokalisir di Pinangki saja," kata Boyamin di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (18/9).
Oleh karenanya, pada Jumat (18/9), Boyamin mendatangi gedung KPK untuk memenuhi undangan dari lembaga antirasuah yang ia terima melalui surat elektronik miliknya. Kedatangannya pun ia lakukan untuk menjelaskan mengenai gambaran sosok 'king maker'.
Dikatakan Boyamin, sosok 'king maker' yang membuat Pinangki bersama teman dekatnya bernama Rahmat menemui Djoko Tjandra di Malaysia. Tak hanya itu, Boyamin menyebut 'king maker' merupakan pihak yang mengetahui proses pengurusan agar Djoko Tjandra terbebas dari eksekusi.
"Tapi ketika Pinangki pecah kongsi dengan Anita (Anita Kolopaking, pengacara Djoko Tjandra) dan hanya mendapatkan rezeki seakan-akan Anita dari Djoko Tjandra maka 'king maker' ini berusaha membatalkan dan membiarkan PK itu sehingga terungkap di DPR segala macam itu, 'king maker' itu di belakang itu semua. Dan kemudian semua bubar istilahku itu 'kalau gue enggak makan, lu juga enggak makan. Nah inilah tugasnya KPK untuk menelusuri 'king maker' ini," tutur Boyamin.
Sayangnya, Boyamin masih enggan mengungkapkan sosok 'king maker'. Boyamin hanya menyebut 'king maker' atau inisial nama lain yang telah diungkapnya bisa merupakan penegak hukum aktif atau yang sudah pensiunan atau pihak lainnya. Boyamin memastikan sosok 'king maker' tersebut mengetahui, menggerakkan proses permintaan fatwa ke MA agar Djoko Tjandra tidak dieksekusi dan bahkan menggagalkan langkah pengajuan PK oleh Anita Kolopaking.
"Setidaknya 'king maker' itu bisa membuat seperti itu tadi membuat pergerakan awal untuk fatwa itu terus pergerakan hingga membubarkan membuyarkan paket berikutnya karena kan kemudian Pinangki pecah kongsi dengan Anita dan Anita kemudian berjalan sendiri mengurusi PK. 'king maker' ini membuat suatu ini menjadi buyar dan bubar," terangnya.
Dalam kesempatan itu, Boyamin juga kembali meminta KPK mengambil alih skandal Djiko Tjandra untuk membongkar pihak-pihak yang terlibat. Setidaknya, KPK membuka penyelidikan baru untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
"Biar KPK nanti yang mendalami," ucap Boyamin.
In Picture: Bareskrim Periksa Jaksa Pinangki di Rutan Salemba
Sebelumnya, Boyamin telah menyerahkan bukti baru terkait rangkaian perkara yang melibatkan Djoko Tjandra. Dalam bukti baru yang Boyamin mengatakan ada penyebutan istilah 'king maker' di dalam perbincangan antara jaksa Pinangki Malasari, Djoko Soegiarto Tjandra, dan pengacara Anita Kolopaking.
"Salah satu yang mengejutkan dan ini adalah hal yang baru yaitu ada penyebutan istilah King Maker dalam pembicaraan-pembicaraan itu antara PSM, ADK dan JST juga," kata Boyamin di Gedung KPK Jakarta, Rabu (16/9).
Boyamin mengungkapkan, bukti terkait 'king maker' ini tidak bisa dibawa ke Kepolisian maupun Kejaksaan. Pasalnya, kasus Djoko Tjandra di dua institusi itu bakal segera selesai tahap penyidikan.
"Karena Kejakgung udah buru-buru cepat selesai, PSM udah P21. Di Bareskrim juga nampaknya bentar lagi segera berkasnya diserahkan kembali ke Kejakgung," ujar Boyamin.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korups (KPK) Nawawi Pomolango mengatakan dalam pemberantasan korupsi aparat penegak hukum segarusnya tidak mengesampingkan data, informasi, dan saran dari elemen masyarakat. Pernyataan Nawawi ini merespons informasi yang diungkap MAKI.
"Seharusnya semua aparat penegak hukum dalam pmberantasan korupsi, tidak begitu saja mengenyampingkan segala data, informasi, saran dan masukan dari masyarakat karena itu memang amanah Undang-undang sebagai strategi pemberantasan korupsi di negeri ini," kata Nawawi, Kamis (17/9).
Karena, lanjut Nawawi, hal tersebut diatur dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No/31/1999. Aturan itu, kata Nawawi memberi ruang sekaligus mengamanahkan besarnya arti peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di negeri ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 41, 42, Juncto PP No.71/2000.
Nawawi mengatakan, peran serta itu ditegaskan dalam Pasal 41 UU Tipikor, yakni dapat berwujud seperti hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.
"Termasuk didalamnya hak untuk memyampaikan saran dan pendapat yang bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi," katanya.
Lebih lanjut, menurut Nawawi Aparat penegak hukum hukum dalam pemberantasan korupsi berkewajiban untuk menelaah segala informasi yang diberikan oleh masyarakat.
"Termasuk KPK tentu saja, berkewajiban untuk mempelajari dan menelaah segala sesuatu yang diberikan sebagai informasi oleh masyarakat tersebut," kata dia.
Sementara setop di tiga tersangka
Penyidikan dugaan penerimaan suap, dan gratifikasi jaksa Pinangki Sirna Malasari, sementara ini, setop di tiga tersangka. Direktur Penyidikan di JAM Pidsus Febrie Adriansyah mengatakan, pembeberan saat persidangan nantinya, dikatakan dapat membuka jalur baru penyidikan.
Selain Pinangki, hasil penyidikan saat ini, sudah menetapkan terpidana Djoko Tjandra sebagai tersangka pemberian suap. Dan politikus partai Nasdem, Andi Irfan sebagai tersangka perantara pemberian uang 500 ribu dolar AS (Rp 7,5 miliar), dari Djoko ke Pinangki.
“Di persidangan nanti, akan kita lihat keterangan tersangka-tersangka ini. Keterangan tersangka di pengadilan, akan menjadi alat bukti penyidikan baru yang terkait dengan keterlibatan pihak-pihak lain,” kata Febrie, pada Ahad (13/9).
Febrie menjelaskan, pemberkasan kasus saat ini, memprioritaskan tersangka jaksa Pinangki untuk segera disorongkan ke Pengadilan Tipikor. Menurut Febrie, Senin (14/9), divisi penuntutan di JAM Pidsus, berencana menjabarkan penerapan pasal-pasal yang dapat meyakinkan para hakim untuk memidanakan Pinangki.
JAM Pidsus Ali Mukartono, lebih dari tiga kali pernah menjelaskan, objek dari suap yang dilakukan ketiga tersangka itu, menyangkut tentang fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra. Ali akhir pekan lalu (11/9), pun membeberkan, penyidikan paralel di Bareskrim Polri, menguatkan dugaan adanya upaya pengaturan Peninjauan Kembali (PK) di PN Jakarta Selatan (Jaksel), sebagai basis rencana keluarnya fatwa di MA.
“Di sana, di Bareskrim, (penyidikannya) kaitannya, dalam rangka PK. Di sini (JAM Pidsus), fatwa,” kata Ali. Karena itu, kata Ali, hasil penyidikan di JAM Pidsus, juga di Bareskrim saling berisiran, meskipun penanganannya terpisah. Tetapi, kata Ali, untuk sementara ini, belum ada arah maju penyidikan yang menguatkan alat bukti tentang keterlibatan para hakim, maupun pejabat yudikatif di PN maupun di MA dalam skandal tersebut.
“Belum sampai ke situ-situ (PN maupun MA). Karena, baru bermufakat (untuk menyuap hakim) saja,” terang Ali.