Senin 14 Sep 2020 20:42 WIB

Perludem: Penundaan Pilkada karena Pandemi Memungkinkan

Penundaan Pilkada memungkinkan karena diatur dalam UU 10/2016 tentang Pilkada

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Deputi Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati saat konferensi terkait penyelenggaraan Pilkada di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (30/8).
Foto: Republika/ Wihdan
Deputi Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati saat konferensi terkait penyelenggaraan Pilkada di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (30/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendorong pemerintah agar menunda pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 di daerah yang berisiko tinggi penyebaran Covid-19. Penundaan Pilkada memungkinkan karena diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

"Sebetulnya kalau menurut saya masih terbuka juga kemungkinan untuk menunda di masing-masing daerah," ujar Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati atau akrab disapa Ninis, saat dihubungi Republika, Senin (14/9).

Pasal 122 UU 10/2016 mengatur pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan yang dapat ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota atau KPU provinsi. Dalam hal pemilihan gubernur dan wakil gubernur, penundaan pilkada dapat dilakukan apabila pemilihan tidak dapat dilaksanakan di 40 persen jumlah kabupaten/kota atau 50 persen dari jumlah pemilih terdaftar tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih.

Sementara, penundaan pilkada dalam hal pemilihan bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota, pemilihan tidak dapat dilaksanakan di 40 persen jumlah kecamatan atau 50 persen dari jumlah pemilih terdaftar tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih.

Ketentuan tersebut masih berlaku dalam perubahan UU Pilkada terbaru yakni UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 2 Tahun 2020. Perubahan undang-undang itu menjadi dasar pelaksanaan pilkada serentak lanjutan karena ditunda akibat pandemi Covid-19.

Menurut Ninis, penundaan pilkada di daerah perlu dilakukan karena pesta demokrasi ini berisiko tinggi terjadinya penyebaran Covid-19. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah bakal pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan dengan menyebabkan kerumunan massa saat pendaftaran pilkada pada 4-6 September lalu.

Ia melanjutkan, tentu dalam memutuskan sesuatu juga perlu terukur dan rasional. Kalau misalnya kemungkinan terburuknya adalah gara-gara pilkada semakin memperburuk situasi Covid-19, tentu ketersediaan dan kesiapan dokter atau rumah sakit harus menjadi pertimbangan.

"Sekarang saja sudah banyak dokter/rumah sakit yang hampir collapse. Ini juga harus jadi pertimbangan," tutur Ninis.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Bina Administrasi dan Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Syafrizal ZA menegaskan, sejauh ini tidak ada penundaan pilkada. Namun, pilkada harus dilaksanakan dengan kepatuhan menerapkan protokol kesehatan.

"Tidak ada penundaan pilkada. Hanya semua mesti taat disiplin protokol kesehatan," ujar Syafrizal kepada Republika, Senin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement