Senin 14 Sep 2020 19:31 WIB

Bupati Non-Aktif Sidoarjo Dituntut Empat Tahun Penjara

Pihak Saiful Ilah nilai ada bagian jaksa jujur, tapi ada pula bagian menafsir fakta.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Ratna Puspita
Terdakwa Bupati nonaktif Sidoarjo Saiful Ilah menjalani sidang dakwaan kasus korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (3/6/2020). Saiful Ilah menjadi terdakwa terkait kasus menerima suap pengadaan empat proyek infrastruktur di Dinas PUPR Kabupaten Sidoarjo sebesar Rp1,4 miliar.
Foto: Antara/Umarul Faruq
Terdakwa Bupati nonaktif Sidoarjo Saiful Ilah menjalani sidang dakwaan kasus korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (3/6/2020). Saiful Ilah menjadi terdakwa terkait kasus menerima suap pengadaan empat proyek infrastruktur di Dinas PUPR Kabupaten Sidoarjo sebesar Rp1,4 miliar.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Bupati non-aktif Sidoarjo, Saiful Ilah, dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 200 juta subsidair enam bulan kurangan. Syaiful Ilah juga dituntut membayar uang ganti rugi sebesar Rp 600 juta. 

Jika tidak dibayar maka aset dan harta terdakwa disita dan dilelang yang hasilnya dibayarkan untuk uang pengganti. Jika masih kurang diganti dengan kurungan badan selama dua tahun.

Baca Juga

Jaksa menilai terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan gratifikasi proyek infrastruktur di Kabupaten Sidoarjo. "Menuntut dijatuhkannya pidana terhadap terdakwa Saiful Ilah berupa pidana penjara selama 4 tahun," kata Jaksa Arif Suhermanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Jalan Raya Juanda, Kabupaten Sidoarjo, Senin (14/9).

Jaksa Arif menyampaikan beberapa pertimbangan yang memberatkan tuntutan kepada terdakwa. Di antaranya, selaku penyelenggara negara, perbuatan terdakwa dinilai jaksa justru berlawanan dengan program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Keterangan terdakwa juga dinilai tidak konsisten di persidangan.

"Yang meringankan, terdakwa sudah berusia lanjut," ujar jaksa Arif.

Penasihat Hukum Syaiful Ilah, Syamsul Huda, mengatakan ia menghargai apa yang sudah disampaikan penuntut umum pada sidang tuntutan. Sebab, ada beberapa hal yang cukup jujur yang disampaikan jaksa. 

Namun, kata dia, jaksa penuntut umum juga terlalu banyak menafsir fakta. "Pidana korupsi ini terkait dengan sesuatu yang harus terang benderang, baik alat buktinya, faktanya, perbuatannya, dan rangkaian perbuatannya," kata dia.

Menurutnya, banyak sekali alat bukti petunjuk yang dipakai utk menuntut Syaiful Illah. Padahal, dalam kasus pidana jangan terlalu berharap pada bukti petunjuk. 

Apalagi yang menangani kasus tersebut adalah KPK, yang mempunyai kekuatan hebat untuk mencari alat bukti yang lebih terang benderang. "Jadi nanti di pledoi akan kita sampaikan baik faktanya, peristiwanya, kemudian rangkaian, dari peristiwanya. Tadi disebut ada perbuatan yang sempurna voltooid (tindak pidana yang telah selesai dilakukan oleh pelakunya). Bagaimana diswbut voltooid sodara Syaiful Illah tidak menerima uang Rp 350 juta itu. Itu uang diterima Budiman almarhum," ujarnya.

Syaiful Ilah juga membantah menerima uang gratifikasi, seperti apa yang disampaikan jaksa. "Saya tidak pernah minta kepada siapa pun. Jadi itu bohong. Gak pernah. Dalam rapat gak pernah meminta-minta uang. Tidak pernah menerima Rp 350 juta itu. Itu diterima Budiman. Diterima Deltras," kata Syaiful.

Sebelumnya, jaksa mendakwa Saiful Ilah menerima sejumlah uang, di antaranya Rp350 juta, dari dua kontraktor. Uang tersebut disebut-sebut untuk mengatur beberapa proyek pembangunan infrastruktur di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2019. Uang tersebut diterima terdakwa dari kontraktor berinisia IG di Pendopo Delta Wibowo. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement