REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidikan kasus dugaan suap dan gratifikasi terpidana Djoko Sugiarto Tjandra kepada tersangka Jaksa Pinangki Sirna Malasari, belum menyentuh dugaan adanya keterlibatan hakim maupun pejabat di Mahkamah Agung (MA). Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejakgung) Ali Mukartono mengatakan, meskipun penyidiknya meyakini objek suap dan gratifikasi terkait soal upaya penerbitan fatwa MA, tetapi belum ada proses maju untuk memeriksa pejabat, maupun hakim di kamar tertinggi yudikatif tersebut.
"Karena tidak ada keharusan semacam itu untuk pembuktiannya," ucap Ali saat konfrensi pers gelar perkara bersama di Gedung Pidana Khusus, di Kejakgung, Jakarta, Selasa (8/9).
Ali menjelaskan, sampai saat ini, penyidiknya, belum membutuhkan proses pengungkapan, maupun permintaan kesaksian dari para pejabat, ataupun hakim di level pengadilan, maupun MA. Bahkan Ali mengungkapkan, belum ada nama-nama pejabat, maupun hakim yang muncul dalam penyidikan. Akan tetapi, kata Ali, penyidiknya masih mengembangkan penyidikan terkait dugaan ada atau tidaknya keterlibatan hakim, ataupun pejabat MA dalam kasus tersebut.
"Bisa iya (ada), bisa tidak. Kita tunggu perkembangannya. Tetapi, sampai sekarang, penyidikan belum ke arah sana," ujarnya.
Begitu juga, kata Ali, terkait dugaan keterlibatan mantan Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel) Jan Maringka, bahkan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Ali mengungkapkan, dalam gelar perkara bersama Bareskrim Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sempat dibahas menyangkut dugaan keterlibatan, dan peran para petinggi Kejakgung itu. Ali tak bersedia membeberkan materi lengkap menyangkut para atasan tersangka Pinangki, dalam skandal Djoko tersebut. Meskipun, ia tak bakal menghalangi nama-nama pemimpin di Kejakgung tersebut, terungkap dalam persidangan nantinya.
"Ada itu (Maringka dan Burhanuddin) dibahas. Keluar entah dari BAP atau apa. Tetapi materinya, tidak perlu saya sampaikan. Nanti dalam pengadilan, akan muncul itu," kata Ali.
Ali hanya membeberkan, dalam salah satu pemeriksaan terhadap tersangka Pinangki, penyidik sempat menanyakan keterlibatan Maringka, dan Burhanuddin. Tapi tersangka Pinangki, kata Ali tak memberikan kepastian. "Apakah ada keterkaitannya (Maringka dan Burhanuddin), tersangka P (Pinangki) tidak menjelaskan apa-apa," ucapnya.
Dugaan adanya keterlibatan, hakim, maupun pejabat MA dalam skandal suap dan gratifikasi Pinangki, dan Djoko tak cuma melihat objek korupsi dalam perkara tersebut. Yakni, fatwa MA. Dalam kasus ini, Djoko memberi uang kepada Pinangki, senilai 500 ribu dolar AS, atau setara Rp 7,5 miliar, untuk pengurusan fatwa bebas dari MA. Djoko butuh fatwa MA agar Kejakgung tak dapat mengeksekusi putusan MA 2009. Sebelas tahun lalu, MA memvonis Djoko, dua tahun penjara dan dinyatakan bersalah atas kasus korupsi hak tagih utang Bank Bali 1999.
Putusan MA 2009, tak dapat diekskusi karena Djoko berhasil kabur ke Papua Nugini. Dari hasil penyidikan pada November 2019-Januari 2020, Djoko merancang permufakatan jahat untuk lepas dari hukum. Pinangki, membawa timnya untuk membebaskan Djoko via fatwa MA. Ada nama Andi Irfan, politikus partai Nasdem yang menjadi perantara uang dari Djoko ke Pinangki. Andi Irfan, belakangan juga ditetapkan sebagai tersangka. Meskipun upaya penerbitan fatwa MA tersebut tak terealisasi, tetapi diyakini penyidik, pemberian uang dan janji, sudah terpenuhi.
Terhadap tiga tersangka itu, penyidik menjerat Djoko dengan sangkaan Pasal 5 ayat (1) a, atau b, atau Pasal 13 UU Tipikor. Pinangki, sebagai penerima suap dan gratifikasi, dijerat dengan Pasal 5 ayat (2), atau Pasal 11, dan Pasal 12 a atau b, serta Pasal 15 UU Tipikor. Dan Andi Irfan, dijerat menggunakan Pasal 5 ayat (2), juncto ayat (1) b, dan Pasal 6 ayat (1) a, dan Pasal 15 UU Tipikor. Terhadap tersangka Andi Irfan, penggunaan Pasal 6 UU Tipikor, terang menebalkan tentang suap, dan gratifikasi terhadap hakim.
Gagal dalam upaya penerbitan fatwa MA, tersangka Pinangki, dan Andi Irfan juga mengenalkan pengacara Anita Dewi Kolopaking. Pada Mei-Juni 2020, upaya fatwa MA, beralih ke usaha pengaturan hukum lewat Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel). Belakangan, Anita Kolopaking ditetapkan tersangka di Bareskrim Polri. Bareskrim juga menetapkan Djoko sebagai tersangka, termasuk dua perwira kepolisian, Irjen Napoleon Bonaparte, dan Brigjen Prasetijo Utomo yang diketahui menerima uang 20 ribu dolar (Rp 296-an juta) dari Djoko lewat perantara Tommi Sumardi yang juga sudah ditetapkan tersangka.
Adapun Jan Maringka, dan Burhanuddin, namanya sempat terseret dalam skandal. Jan Maringka, saat menjabat Jamintel, sempat berkomunikasi dengan Djoko kala masih buron. Komunikasi tersebut, dilaporkan ke Jaksa Agung Burhanuddin. Ketua Komjak Barita Simanjuntak kepada Republika.co.id (7/9) mengungkapkan, hasil pemeriksaan mengungkapkan, komunikasi Maringka dengan Djoko, terjadi pada 2 dan 4 Juli.
Barita pun membenarkan, adanya laporan resmi Maringka ke Burhanuddin hasil dari komunikasi dengan Djoko. Bahkan, kata Barita, Maringka mengakui komunikasi dengan Djoko tersebut, atas perintah Burhanuddin. Tetapi, kata Barita, komunikasi dengan Djoko itu, dalam fungsi intelijen. Laporan Maringka kepada Burhanuddin, sebagai penyampaian tugas dari perintah untuk menghubungi Djoko yang masih buronan.
"Sebagai user (pengguna fungsi) intelijen," ucap Barita.
Jan Maringka, saat dihubungi Republika.co.id, membenarkan pemeriksaan di Komjak. Maringka pun menerangkan, komunikasi dirinya dengan Djoko itu, tak terkait dengan skandal hukum membebaskan buronan tersebut. Justeru sebaliknya, komunikasi itu, karena Burhanuddin, meminta Maringka membujuk Djoko kembali ke Indonesia untuk menjalani vonis MA 2009.
"Jadi semata-mata, komunikasi (dengan Djoko) itu untuk melaksanakan perintah pimpinan (Burhanuddin)," ujar, Selasa (8/9).
Maringka pun menegaskan, menengok waktu komunikasinya dengan Djoko, jauh setelah adanya permufakatan jahat yang dilakukan tersangka Pinangki, Andi Irfan, bersama timnya, untuk melobi upaya penerbitan fatwa bebas dari MA. "Dengan begitu, harus dipahami, tindakan yang dilakukan oleh oknum lain sebelum itu (komunikasi 2 dan 4 Juli), bukan bagian dari tim kami," kata Maringka.