Selasa 01 Sep 2020 19:49 WIB

Kejakgung tak Punya Hak Tolak Supervisi KPK

Kejakgung tak punya hak tolak supervisi KPK terkait kasus Jaksa Pinangki.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Ali Mukartono
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Ali Mukartono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak punya hak menolak kewenangan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam penanganan kasus dugaan suap dan gratifikasi terpidana Djoko Sugiarto Tjandra ke tersangka Jaksa Pinangki Sirna Malasari.Kewenangan supervisi KPK, ada dalam Undang-undang (UU). 

"Enggak bisa (kejaksaan menolak). Itu (supervisi), perintah undang-undang," ucap Ali menegaskan saat dicegat di Gedung Pidsus Kejakgung, Jakarta, Selasa (1/9). 

Baca Juga

Pasal 10 A UU KPK 19/2019 menebalkan soal kewenangan KPK, dalam melakukan super visi penanganan kasus korupsi, yang diduga dilakukan aparat penegak hukum, kejaksaan, maupun kepolisian. Dalam kasus Pinangki, ia ditetapkan sebagai tersangka terkait penerimaan suap dan gratifikasi dari Djoko. 

Dugaan suapnya, terungkap sementara senilai 500 ribu dolar AS atau setara RP 7,5 miliar. Pemberian uang haram tersebut, diduga terkait dengan misi membebaskan Djoko dari jerat pidana. Dikatakan, misi tersebut lewat upaya penerbitan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA), atas vonis Djoko 2009 lalu.

Pada 2009, MA pernah memvonis penjara Djoko selama dua tahun terkait kasus korupsi pengalihan hak tagih utang Bank Bali 1999. Tapi, sebelum vonis jatuh, Djoko berhasil kabur. Setelah satu dekade dalam pelarian, akhirnya Djoko berhasil ditangkap oleh tim Bareskrim Polri di Malaysia, pada akhir Juli 2020. Sebelum penangkapan itu, skandal Djoko, pun terungkap. Djoko, dalam status buronnya, pernah keluar masuk ke  Indonesia rentang Mei-Juni 2020.

Bahkan, Djoko sempat membuat KTP-El, paspor, dan dokumen lainnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel). Sidang PK, digelar empat kali tanpa kehadiran Djoko, yang kembali berhasil ke luar wilayah Indonesia, dalam status buronan. Selanjutnya, hasil PK di PN Jaksel, berakhir dengan keputusan majelis hakim yang tak melanjutkan pemberkasan perkaranya ke MA.  

Terkait skandal tersebut, bukan cuma jaksa Pinangki yang terseret arus kasus. Penyidikan di Bareskrim Polri, juga menetapkan Irjen Napoleon Bonaparte, dan Brigjen Prasetijo Utomo sebagai tersangka. Keduanya dituding menerima uang senilai 20 ribu dolar (Rp296 juta), terkait dengan pencabutan status buronan Djoko di interpol, saat masih buronan. Selain itu, Bareskrim Polri juga menetapkan Djoko dan kerabatnya, Tommi Sumardi sebagai tersangka pemberian suap kepada dua perwira kepolisian tersebut. 

Pengacara Djoko, Anita Kolopaking, juga ditetapkan tersangka oleh Bareskrim dalam penyidikan penggunaan surat, dan dokumen palsu untuk kliennya itu. Proses penyidikan yang dilakukan tim di Bareskrim Polri, sempat menggandeng KPK dalam pengungkapan tiga klaster kasus utama skandal hukum Djoko. Dalam beberapa kali gelar perkara, Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo, mengundang para penyidik dari KPK. 

Sementara di Kejakgung, proses penyidikan di JAM Pidsus, tampak bekerja sendiri. Keterlibatan tersangka Pinangki yang berstatus jaksa aktif, pun menjadi sorotan publik. Para komisioner KPK, beberapa kali melayangkan pernyataan resmi agar JAM Pidsus, berinisiatif melimpahkan perkara tersangka jaksa Pinangki, ke KPK. Ketua KPK Firli Bahuri, Senin (31/8) menegaskan kembali kewenangan institusinya dalam melakukan super visi penyidikan korupsi, sesuai Pasal 10 A UU KPK.

JAM Pidsus Ali melanjutkan, jika menjadikan beleid tersebut sebagai kewenangan, ia mengatakan KPK memang berhak mengambil alih penanganan hukum jaksa Pinangki. "Kalau itu memenuhi kriteria undang-undang, ya, itu jadi kewenangan dia (KPK)," katanya.

Kejaksaan, kata Ali, akan melimpahkan penanganan jaksa Pinangki, jika KPK, memutuskan untuk melakukan super visi. "(Kejaksaan) bukan mengalah, ini bukan soal menang-kalah. Ini soal kewenangan undang-undang," ujarnya menambahkan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement