REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satgas Penanganan Covid-19 menyebutkan, mutasi virus corona yang disebut D614G, belum tentu lebih berbahaya ketimbang strain virus yang menginfeksi kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini. Juru Bicara Satgas, Wiku Adisasmito menjelaskan, adanya penyakit penyerta yang diidap pasien Covid-19 tetap lebih penting untuk diantisipasi daripada temuan strain virus yang baru ini.
"Bukti saat ini menunjukkan, D614G belum terlalu penting dibandingkan faktor risiko lainnya seperti usia dan penyakit penyerta. Namun perlu kami pastikan bahwa proses penelitian dan investigasi tentang sebaran kasus atau virus ini," ujar Wiku dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Selasa (1/9).
Satgas, ujar Wiku, saat ini tetap memonitor perkembangan penelitian mengenai mutasi virus corona yang disebut memiliki kemampuan infeksi 10 kali lebih kuat ketimbang strain virus yang saat ini banyak menginfeksi. Riset pun, menurut Wiku, belum mempu menunjukkan secara rinci seberapa besar kemampuan infeksi D614G.
Wiku meminta Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan universitas untuk bekerja sama dalam melakukan penelitian mengenai mutasi virus corona di Tanah Air. Terutama, ujarnya, adalah pendalaman mengenai kemampuan penularan dari D614G.
"Juga pertanyaan tentang apakah ini membuat infeksi lebih parah," katanya.
Satgas, ujar Wiku, juga menyimak perkembangan riset dunia mengenai mutasi virus corona ini. Di inggris misalnya, dilaporkan bahwa pasien yang terinfeksi virus D614G memiliki tingkat RNA virus yang lebih tinggi. Namun, ujar Wiku, ilmuwan di Inggris tidak menemukan perbedaan dalam hasil rawat inap antara pasien Covid-19, baik yang memiliki strain virus umum atau D614G.
"Pengamatan klinis ini juga didukung dua studi independen dari 175 pasien Covid-19 di Seattle, Amerika, dan juga 88 pasien di Chicago, Illinois, Amerika. Sedangkan viral load atau tingkat keparahan dengan konsentrasi virus yang tinggi tidak selalu berkorelasi terutama bila viral load digunakan untuk memperkirakan titer dari virus tersebut," kata Wiku.