REPUBLIKA.CO.ID, SOLO - Sejumlah eks narapidana terorisme (napiter) dari wilayah Solo Raya merayakan Hari Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia di Balai Kota Solo, Senin (17/8). Para eks napiter tersebut yakni, Paimin asal Sragen, Mamo asal Karanganyar, Priyatmo asal Klaten, serta Ari Budi Santoso alias Abbaz, Chamidi, dan Bayu Setyono yang semuanya berasal dari Solo.
Salah seorang eks-napiter asal Sragen, Paimin mengaku setiap tahun mengikuti kegiatan upacara bendera peringatan Hari Kemerdekaan RI.
"Tidak hanya upacara 17 Agustus, tetapi upacara HUT TNI/Polri saya juga ikut," katanya.
Dahulu ia terbukti berencana meracuni polisi di Mapolda Metro Jaya bersama delapan orang anggota kelompoknya pada Oktober 2011. Paimin dijatuhi hukuman penjara di Polda Metro Jaya, Mako Brimob, dan Lapas Kelas II A Magelang selama 30 bulan kemudian bebas pada April 2014. Paimin menyatakan, saat menjalani hukuman, dia tersadar jalan kekerasan yang sempat dia tempuh tersebut tidak benar.
"Saya teringat kepada anak dan ingin segera pulang," ungkapnya.
Warga Dusun Maron, Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Sambung Macan, Sragen ini sudah bebas dan aktif dalam kegiatan Peduli Lingkungan Sekitar (PLS).
"Saya mengajak warga yang ekonominya kurang mampu di sekitar saya untuk berwirausaha ternak ikan, mulai pembenihan sampai pembesaran," terang Paimin kepada wartawan seusai upacara.
Menurutnya, setelah dibebaskan dan kembali ke masyarakat, dia tidak mengalami penolakan. Bahkan, masyarakat di lingkungannya mendukungnya sehingga dia bisa menjalankan wadah PLS.
Deputi Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Hari Purwanto, mengatakan diperlukan strategi kontraterorisme untuk menangkal radikalisme dan terorisme. Salah satunya melalui program deradikalisasi yang menyasar kalangan napiter maupun eks napiter.
Proses deradikalisasi bertujuan untuk merehabilitasi dan mereintegrasi eks napiter kembali ke masyarakat. Dalam praktiknya, proses deradikalisasi menemui sejumlah kendala. Di antaranya, adanya penolakan masyarakat terhadap eks napiter hingga tuduhan belum optimalnya deradikalisasi.
"Padahal, banyak eks napiter yang telah hidup normal bahkan menjadi duta antiterorisme. Minimnya informasi yang beredar di masyarakat telah membentuk persepsi negatif terhadap kebijakan penanganan terorisme," papar Wawan.
Keberhasilan rehabilitasi mantan tahanan teroris dinilai memiliki arti penting bagi keamanan nasional maupun internasional. Selain itu, rehabilitasi eks napiter merupakan upaya memanusiakan manusia sekaligus upaya memberikan kesempatan kedua untuk menebus kesalahannya di masa lalu.
Melibatkan para eks dalam upacara bendera Perayaan HUT ke-75 RI dinilai sebagai upaya untuk memupuk nasionalisme. Kehadiran eks napiter juga menjadi simbol kembalinya mereka ke NKRI.
"Mengucilkan eks napiter dan para keluarganya justru akan semakin membuat mereka masuk ke dalam lingkaran kekerasan dan dapat kembali menjadi teroris," imbuh Wawan.
Sementara itu, Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, mengatakan telah bekerja sama dengan salah satu wadah eks napiter yakni Yayasan Gema Salam. Dia juga meminta kepada BIN agar di Solo ada kantor BIN.
"Nantinya, kantor itu bisa digunakan untuk pelatihan sebagai bekal para napiter untuk kembali ke masyarakat," katanya.