Selasa 04 Aug 2020 09:43 WIB

Surabaya Mau Buka Kembali Sekolah Saat Covid Masih Mewabah

Sebanyak 21 SMP di Surabaya disiapkan menjadi pilot project pembelajaran tatap muka.

Sejumlah sekolah di Kota Bekasi melakukan simulasi belajar tatap muka, Senin (3/8). Daerah lain seperti Surabaya juga menyiapkan simulasi sekolah tatap muka di 21 SMP. (ilustrasi)
Foto: Eva Rianti
Sejumlah sekolah di Kota Bekasi melakukan simulasi belajar tatap muka, Senin (3/8). Daerah lain seperti Surabaya juga menyiapkan simulasi sekolah tatap muka di 21 SMP. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dadang Kurnia, Mimi Kartika

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Pendidikan (Dispendik) berencana memulai kembali proses belajar mengajar secara tatap muka pada masa pandemi Covid-19. Sebanyak 21 SMP, baik itu swasta maupun negeri yang mewakili lima wilayah sekolah di Surabaya, disiapkan sebagai pilot project.

Baca Juga

Sebelum PBM di sekolah tersebut dimulai, terlebih dahulu masing-masing sekolah itu melaksanakan simulasi proses belajar mengajar tatap muka dengan menerapkan protokol kesehatan. Simulasi digelar di dua sekolah negeri di Kota Pahlawan, yakni SMPN 15 dan SMPN 3 Surabaya. Simulasi yang berlangsung di kedua sekolah tersebut, diperankan oleh karyawan serta para guru.

Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengkritisi rencana Pemkot Surabaya menggelar sekolah tatap muka di beberapa SMP. Windhu meminta Pemkot Surabaya berhati-hati.

Windhu mengatakan, secara epidemiologis Surabaya masih belum aman dari ancaman Covid-19. Karena, menurutnya, masih berada di zona merah dan tingkat penularannya masih tinggi.

"Kriteria WHO dan Bappenas, tingkat penularan yang simbolnya Rt (rate of transmission) harus di bawah 1 selama 14 hari berturut-turut," kata Windhu dikonfirmasi Selasa (4/8).

Windhu menegaskan, angka Rt atau tingkat penularan Covid-19 di Kota Pahlawan masih fluktuatif, yang artinya sama sekali belum bisa dikendalikan. Hal itu terlihat dari masih tingginya penambahan kasus harian Covid-19. Selain itu, kata Windhu, angka tingkat kematian akibat Covid-19 di Surabaya juga masih tinggi.

"Surabaya masih tinggi, 8,9 persen, padahal nasional kurang 4,5 persen. Sedangkan WHO targetnya 2 persen. Jadi tingkat keamanan Surabaya masih jauh," ujar Windhu

Ketika memutuskan untuk proses belajar mengajar tatap muka, Pemkot Surabaya diminta untuk memerhatikan aktivitas peserta didik mulai dari berangkat hingga pulang sekolah. Apalagi, jika ada siswa yang berangkat ke sekolah menaiki kendaraan umum yang menurutnya itu juga rentan tertular Covid-19.

"Berangkat dari rumah menuju sekolah itu pasti ada yang naik transportasi umum dan itu berisiko tinggi karena sering kali jaga jarak dilanggar," ujar Windhu.

Sepulang sekolah, juga tidak ada yang bisa menjamin peserta didik tidak terlebih dahulu keluyuran. Karena menurutnya, tidak mungkin Pemkot Surabaya mengawasi setiap peserta didik mulai berangkat hingga siswa kembali ke rumah.

"Apa Pemkot mau mengikuti anak dari berangkat sampai pulang sekolah sampai rumah, tentu kan tidak mungkin," kata Windhu.

Windhu mengingatkan, Satgas Covid-19 pusat pun telah menetapkan, ketika daerah sudah masuk zona hijau Covid-19 pun, yang dibuka terlebih dahulu adalah SMA. "Ini saya setuju karena siswa SMA lebih dewasa untuk kepatuhan protokol kesehatan. Kalau SMA setelah dievaluasi bagus baru SMP, lanjut SD," ujarnya.

Untuk itu, Windhu mewanti-wanti dengan banyaknya faktor tersebut, Pemkot Surabaya harus berpikir ulang untuk membuka kembali pembelajaran tatap muka SMP. Menurutnya, tidak masalah jika hanya menggelar simulasi. Tetapi untuk memutuskan kembali menggelar sekolah tatap muka, haris dipikirkan berkali-kali.

Kepala Bidang Sekolah Menengah Dispendik Kota Surabaya, Sudarminto mengatakan, sebelum PBM di sekolah diputuskan, masing-masing sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project itu wajib menyerahkan SOP (standar operasional prosedur) protokol kesehatan. Selanjutnya, tim dari Dispendik melakukan monitoring kesiapan di lapangan dan dilanjutkan dengan simulasi protokol kesehatan.

“Simulasi itu memberikan gambaran ketika anak (peserta didik) mulai masuk ke sekolah, proses pembelajaran di sekolah, hingga pulang ke rumah,” kata Sudarminto di sela simulasi PBM di SMPN 15 Surabaya, Senin (3/8).

Sudarminto menjelaskan gambaran proses belajar mengajar dengan menerapkan protokol kesehatan. Pertama, sebelum masuk gerbang sekolah peserta didik wajib dicek suhu tubuhnya menggunakan thermal gun. Kemudian, mereka diarahkan petugas untuk cuci tangan dengan sabun dan masuk antrean ke bilik disinfektan.

“Sebelum anak-anak mengikuti action materi pelajaran itu sendiri, maka yang dilakukan guru adalah mengingatkan protokol kesehatan terlebih dahulu baru dilakukan pembelajaran,” ujarnya.

Menurutnya, SOP protokol kesehatan tak hanya diterapkan saat peserta didik mengikuti PBM di kelas. SOP juga telah dirancang ketika peserta didik ingin ke toilet atau melakukan aktivitas lain.

“Bahkan ketika mereka peserta didik pulang sekolah juga di-SOP-kan,” kata dia.

Sudarminto menyebut, ketika PBM di sekolah itu berjalan, kapasitas jumlah peserta didik setiap kelas beserta jam pelajaran juga dikurangi. Terlebih lagi, pihaknya juga mengimbau pihak sekolah agar mengutamakan mata pelajaran yang dinilai esensial.

“Tidak harus seluruh mata pelajaran, dan jam pelajaran tidak harus 45 menit, bisa 25 menit. Kemudian yang masuk (peserta didik) tidak perlu 100 persen, mungkin bisa 25 persen atau 50 persen tergantung kesiapan sarana prasarana sekolah,” kata dia.

Selain itu, pihak sekolah juga wajib memberlakukan protokol ketat bagi warga yang masuk ke lingkungan sekolah. Tak hanya bagi peserta didik, guru maupun karyawan yang memiliki penyakit penyerta dilarang masuk ke sekolah. Hal ini semata-mata untuk mengantisipasi terjadinya kasus Covid-19 di lingkungan sekolah.

“Jadi anak nanti yang punya penyakit bawaan ya tidak perlu masuk, termasuk orang tuanya tidak mengizinkan tidak perlu masuk. Faktornya banyak, jadi gurunya harus sehat, sekolahnya harus komplet protokolnya, anaknya juga harus sehat,” ujarnya.

Pada Senin (3/8), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian menyarankan, adanya simulasi protokol kesehatan di sekolah yang dijadikan sebagai percontohan untuk proses pertemuan tatap muka. Peninjauan lebih lanjut terhadap simulasi dilakukan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di daerah yang disesuaikan situasi dan kondisi masing-masing.

"Video protokol yang berbeda-beda karena ini banyak sekali perbedaanya, ada sekolah yang dia seperti biasa masuk kemudian setelah itu kembali siswanya, ada juga sekolah yang berasrama ini yang paling rawan," ujar Tito dalam siaran pers Kemendagri, Senin (3/8).

Tito menyebutkan, simulasi protokol kesehatan dibedakan antara sekolah agama seperti pesantren dan madrasah, jenjang pendidikan SD/SMP/SMA, serta sekolah dengan asrama, misalnya akademi polisi, dan sebagainya. Video simulasi protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19 harus dibedakan.

"Karena sekali kena akan kena semua, tempat tidurnya, makanannya sama-sama. Kemudian termasuk sekolah-sekolah agama seperti pesantren, ini protokolnya harus beda-beda," kata Tito.

Apabila tidak ada klaster baru setelah simulasi penerapan protokol kesehatan, maka dapat ditiru oleh sekolah lainnya. Tito menyebutkan, waktu simulasi dapat dilakukan dua sampai tiga pekan.

Tito juga menyarankan, pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) atau rapid test/tes cepat dilakukan secara regular setiap dua pekan untuk mencegah terjadinya penyebaran covid-19. Apabila simulasiya menghasilkan perkembangan yang baik dan semua taat pada protokol, maka program dapat berlanjut.

"Guru-guru yang masuk sebelumnya mereka rapid baru mengajar, kemudian pemeriksaan secara reguler per dua minggu dengan PCR atau rapid sebanyak dua kali," kata Tito.

photo
Infografis Survei Orang Tua Khawatir Jika Sekolah Dibuka Kembali - (Infografis Republika.co.id)

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement