REPUBLIKA.CO.ID, Bersyukurlah jika kamu bukan anak konglomerat namun masih bisa mengenyam bangku sekolah hingga tamat. Sebab, hal ini tak bisa serta merta didapatkan oleh anak-anak pemulung di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi.
Pengalaman tak mengenakan belum lama dialami oleh Nur, ibu dari seorang anak laki-laki bernama Mahesa yang baru berusia 7 tahun. Wanita asal Indramayu, Jawa Barat, yang sejak kecil ikut orang tuanya menjadi pemulung di TPST Bantargebang ini, hendak menyekolahkan anaknya di Sekolah Dasar Negeri setempat. Akan tetapi, ia sempat ditolak setelah tahu tempat tinggalnya.
“Jadi, saya mau daftarin sekolah, baru cuci tangan langsung diteriakin. ‘Dari mana’, lalu saya sebut tempat tinggal saya, terus langsung disuruh pulang,” tutur Mahesa saat ditemui Republika beberapa waktu lalu.
Ia tentunya tak habis pikir. Pasalnya, meski tinggal di antara gunungan sampah, tapi ia dan anaknya bukanlah sampah. “Kenapa saya langsung disuruh pulang, enggak ditanya baik-baik dulu begitu kalau memang enggak bisa sekolah di situ. Saya dan anak saya bukan sampah,” kata dia.
Dipandang sebelah mata, dikucilkan dan dirundung menjadi hal yang lumrah terjadi pada anak-anak pemulung di Bantargebang. Padahal, kondisi sekolah formal yang nyaman dan ramah bagi semua siswa adalah faktor terpenting supaya anak-anak bersemangat untuk sekolah.
Resa Boenard, pendiri Kingdom of BGBJ, mengaku pernah mengalami hal serupa. Begitu pula dengan adik perempuannya, ketika masih duduk di bangku SMA.
“Anak-anak kayak dibuat seolah-olah malu menjadi orang miskin atau pemulung di sekolah. Jadi contoh gini, sekolah negeri itu kan gratis, tapi di tahun terakhir biasanya ada biaya-biaya keluar kan. Dia bikin bayaran itu ada tiga, Rp 150 ribu, Rp 200 ribu, dan Rp 250 ribu. Nanti ibu gurunya bilang, yang pilih Rp 150 ribu berarti dia memang tidak mampu banget. Nah jadi itu bikin anak jadi minder kan,” tutur Resa.
Terkait dengan kejadian Mahesa, Resa mengatakan, ia sempat mengonfirmasinya ke pihak sekolah terkait. Saat mendatangi sekolah, respons pihak sekolah berbeda 180 derajat dengan saat Nur yang datang. Ia lantas menanyakan apa yang menyebabkan Mahesa tak boleh sekolah di sana.
Bak diberi karpet merah, pihak sekolah justru tanpa bertele-tele mempersilakan Mahesa untuk dapat masuk ke sekolah negeri itu. Kejadian ini, tentu amat disayangkan. Sebab, hal ini bisa membuat anak merasa dikucilkan di sekolah.
Tak heran, jika banyak dari anak-anak pemulung di area TPST Bantargebang tidak ingin melanjutkan pendidikan mereka. Kejadian ini seakan mengamini perkataan Resa yang menyebut kalau umumnya anak-anak tak ingin melanjutkan sekolah saat masuk ke level Sekolah Menengah Pertama (SMP).
“Biasanya di usia 13-16 tahun. Baru lulus SD mereka bilang enggak mau lanjut lagi. Karena bagi dia, buat apa, dukungan orang tua enggak dapat. Dan juga kondisi di sekolah tidak membuat dia merasa nyaman,” ujar dia.
Dibesarkan di lingkungan tempat pembuangan sampah, membuat Resa paham bagaimana sulitnya hidup melekat dengan stigma. Wanita asal Padang, Sumatera Barat ini, mengaku kerap ditinggal anak didiknya. Mereka yang belajar di ‘Kingdom of BGBJ’ adalah anak-anak yang juga mengenyam pendidikan formal. Meski ada juga yang putus sekolah.
“Di sini mereka dididik untuk menjadi manusia yang utuh, dan bermanfaat buat orang lain. Kita semangati anak-anak biar bisa sekolah formal lagi atau kejar paket,” kata dia.
Adapun, BGBJ adalah kependekan dari Biji-biji Bantargebang. Nama ini dipilih Resa sebagai komunitas karena harapannya anak-anak Bantargebang bisa menjadi benih yang tumbuh subur dengan dan perawatan yang tepat. Sehingga, bisa menjadi pohon yang kuat.