Kamis 30 Jul 2020 17:28 WIB

Wabah Corona: Kampus Merdeka (2)

Yang disebut mendikbud sebagai 'merdeka belajar' baru sampai jargon.

Azyumardi Azra
Foto:

Namun, gagasan dan paradigma ini terlihat makin jauh panggang dari api. Nomenklatur kementerian ini saja tidak menggambarkan pemberian prioritas pada pendidikan tinggi.

Padahal, pendidikan tinggi di banyak negara lain bukan hanya sebagai pusat pembelajaran tingkat tinggi, melainkan sekaligus menjadi lokus utama riset. Memang ada PT di Tanah Air yang sudah mendeklarasikan diri sebagai 'research university', tapi dalam kenyataannya jauh panggang dari api.

Sebaliknya, dari nama kementerian (Riset-dikti) terlihat riset lebih mendapat prioritas. Padahal, realitas menunjukkan, riset hampir mendapat perhatian khusus pemerintahan Jokowi-JK. Presiden Jokowi sendiri hampir tidak pernah berbicara substantif tentang arah pengembangan riset negara ini menyongsong tantangan global.

Presiden Jokowi juga hampir tidak pernah bicara konseptual tentang pendidikan tinggi. Boleh jadi karena kenyataan ini, menristekdikti tidak terlalu banyak bicara konseptual substantif dan strategis tentang pengembangan riset dan PT Indonesia.

Padahal, pendidikan tinggi dan riset perlu prioritas khusus jika Indonesia ingin lebih maju dan kompetitif. Karena itu, tidak jelas bagaimana PT menyelesaikan berbagai ma salah serius yang telah lama membelenggu.

Salah satu masalah pokok adalah birokratisasi yang merampas otonomi PT dan civitas academica, khususnya profesor dan dosen. Birokratisasi berasal terutama dari kebijakan mendikbud pada masa presiden SBY; sebagian lagi bersumber dari Kemen pan-RB, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Kemenristekdikti.

Berbagai aspek birokratisasi membuat dosen dan guru besar yang merupakan motor dan dinamisator PT, kian kehilangan kebe basan dan kemerdekaan. Mereka kemudian menghabiskan lebih banyak perhatian dan waktu pada urusan 'tetek bengek' terkait administrasi.

Kalangan kampus yang kritis menyebut proses birokratisasi ini sebagai 'kolonialisasi' perguruan tinggi oleh Kemendikbud dan Kemenag. PT menjadi sekadar unit pelaksana teknis (UPT) atau satuan kerja (satker) kedua kementerian.

Kepemimpinan PT juga mengalami birokratisasi dan politisasi politik partisan. Rektor pada dasarnya ditetapkan mendikbud dan menag. Senat PT hampir tidak berperan dalam penentuan kepemimpinan PT sejak dari tingkat rektorat sampai dekanat dan prodi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement