REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Bambang Noroyono, Antara
Jejak buronan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra hingga kini masih gelap. Namun, kunjungannya yang singkat kembali ke Indonesia pada pertengahan Juni lalu sudah membawa pencopotan sejumlah pejabat publik.
Diawali dari Lurah Grogol Selatan yang membantu menerbitkan KTP-El, lalu ketiga Brigjen di Mabes Polri masuk dalam penyelidikan. Seorang di antaranya yaitu Brigjen Pol Prasetijo Utomo dicopot pula dari jabatannya setelah menyalahgunakan jabatan dengan menerbitkan surat jalan bagi Djoko.
Tadi malam, Kejaksaan Agung (Kejakgung) mencopot jaksa Pinangki Sirna Malasari dari jabatan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejakgung. Pinangki dicopot karena dianggap terbukti terbukti melakukan pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).
"Yaitu telah melakukan perjalanan ke luar negeri, tanpa mendapatkan izin tertulis dari pimpinan,” kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejakgung, Hari Setiyono, Rabu (29/7).
Pinangki dalam penyelidikan internal Kejakgung terbukti melakukan perjalanan keluar negeri tanpa izin. Di antara sembilan perjalanan tersebut adalah pertemuan Pinangki dengan Djoko Tjandra. Kejakgung menyimpulkan hal tersebut setelah memeriksa pengacara Djoko, Anita Kolopaking.
Anggota Komisi III (Hukum) DPR RI Arsul Sani mengapresiasi pencopotan jaksa Pinangki Sirna Malasari dari jabatan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejakgung atas keterlibatannya dalam skandal Djoko Tjandra. Namun, pencopotan itu dinilai tidak cukup.
"Kejaksaan perlu menelisik dan menganalisis apakah ada indikasi tindak pidana seperti suap atau gratifikasi atau tidak dalam hubungan antara jaksa tersebut dengan Djoko Tjandra atau ada tidak unsur pidana umumnya," kata Arsul saat dihubungi Republika, Kamis (30/7).
Bila terjadi suap atau korupsi oleh Pinangki dalam perkara Djoko Tjandra ini, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus ikut turun tangan. Sedangkan apabila ada dugaan tindak pidana umum, maka Polri juga harus ikut turun tangan.
"Logikanya tentu ada sesuatu kalau seorang penegak hukum sampai berkali-kali ketemu seorang buronan di LN tanpa ada maksud apapun," kata Wakil Ketua MPR RI ini.
Arsul mengatakan, sikap terbuka Kejaksaan dalam perkara Djoko Tjandra ini minimal harus seperti Polri yang sebelumnya juga mencopot dan menyelidiki tiga pejabat tingginya dalam perkara Djoko Tjandra. Keterbukaan diperlukan untuk mengembalikan kewibawaan lembaga penuntut hukum.
"Jika Kejaksaan tidak terbuka menelisik lebih lanjut soal ini, maka ya wajar nanti kalo elemen masyarakat sipil yang akan melaporkan kepada KPK atau Polri terhadap jaksa tersebut," ujar politikus PPP ini.
Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) juga meminta Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak sekadar mencopot Pinangki dari jabatannya. "Sanksi tersebut belum cukup, semestinya sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari Pegawai Negeri Sipil Kejagung dan dikeluarkan dari lembaga Kejaksaan," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman lewat pesan yang diterima Republika, Kamis (30/7).
Pinangki baru dicopot jabatannya sebagai Kasubag Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejaksaan Agung sebagai bentuk sanksi berat atas perbuatannya sembilan kali pergi ke luar negeri tanpa izin atasan. MAKI menilai pencopotan itu tak cukup karena beberapa hal.
Boyamin menyebut, selama pemeriksaan Pinangki diduga berkelit, mengelak dan tidak mengakui perbuatan serta melakukan upaya perlawanan balik terhadap pemeriksa Kejakgung. Di samping itu, kata Boyamin, terdapat dugaan bukti yang kuat berupa pengakuan Anita Kolopaking yang telah jujur mengakui bersama sama Pinangki bertemu Djoko Tjandra di Malaysia.
"Keterangan Anita Kolopaking ini semestinya sudah cukup kuat dan tidak perlu menunggu keterangan Djoko Tjandra karena akan sulit mendapat keterangan dari Joko Tjandra," kata dia.
MAKI menyayangkan tindakan Kejagung yang masih mengabaikan dugaan pertemuan Pinangki dengan Joko Tjandra dengan dalih belum memeriksa Djoko Tjandra.
MAKI sudah menyerahkan bukti tambahan kepada Komisi Kejaksaan berupa foto dokumen perjalanan penerbangan Pinangki bersama Anita Kolopaking pada tanggal 25 November 2019 pesawat Garuda GA 820 jurusan Jakarta Kuala Lumpur keberangkatan pukul 08.20 WIB. "Bukti tambahan tersebut akan sangat berguna untuk bahan pemeriksaan dan berjaga-jaga jika Pinangki mengelak dan membantah seperti yang telah dilakukannya di depan pemeriksa tim Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung," ujar Boyamin.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI Hari Setiyono mengungkapkan hasil pemeriksaan terhadap jajarannya terkait dengan terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra, Rabu (29/7). Pemeriksaan terkait dua informasi pertemuan jaksa dengan Djoko Tjandra dan pengacaranya Anita Kolopaking di Jakarta.
Pertama, hasil pemeriksaan bidang Pengawasan Kejaksaan Agung tentang informasi di media sosial dengan judul 'Pertemuan Anita Kolopaking sedang melobi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nanang Supriatna'. Informasi yang disertai video pertemuan dan foto disebut tidak terbukti.
"Bahwa berdasarkan hasil klarifikasi terhadap pihak-pihak terkait yang antara lain Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kasi Pidsus, Kasi Intel, petugas piket, Jaksa Fahriani Suyuti dan Anita Kolopaking, maka tidak ditemukan adanya bukti permulaan terjadinya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sehingga klarifikasinya/pemeriksaannya dihentikan," ujar Hari dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (29/7).
Kedua, pemeriksaan yang dilakukan Kejaksaan terhadap foto seorang Jaksa Pinangki Sirna Malasari bersama dengan Anita Kolopaking dan seorang laki-laki yang diduga terpidana Djoko Tjandra. Hari mengatakan dari pemeriksaan tersebut ditemukan bukti permulaan pelanggaran disiplin oleh Pinangki sehingga ditingkatkan pemeriksaannya menjadi Inspeksi Kasus.
Hari mengatakan Pinangki terbukti telah melakukan perjalanan ke luar negeri dan melakukan pertemuan dengan buronan terpidana Djoko Tjandra sebanyak sembilan kali dalam tahun 2019. Bahkan, Pinangki melakukan perjalanan ke luar negeri itu tanpa mendapat izin tertulis dari pimpinan.
Padahal, izin tertulis dari pimpinan telah dipersyaratkan dalam ketentuan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: 018/JA/11/1982 tanggal 11 November 1982 tentang Kesederhanaan Hidup, Surat Edaran Jaksa Agung Pembinaan Nomor: B-1181/B/BS/07/19 87 tanggal 6 Juli 1987 perihal Petunjuk Pelaksanaan untuk mendapatkan Izin Bepergian ke Luar Negeri dan Surat Jaksa Agung Muda Intelijen Nomor B- 012/D.1/01/1987 tanggal 8 Januari 1987 mengenai daftar isian clearance.
Perbuatan Pinangki melanggar ketentuan pasal 3 angka 17 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 yaitu 'pegawai negeri sipil wajib mentaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang'. Selain itu, melanggar ketentuan pasal 3 huruf a dan pasal 4 huruf a Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa yaitu 'Dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa wajib mentaati kaidah hukum peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku' serta 'Dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa dilarang menggunakan jabatan dan atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan atau pihak lain'.
"Untuk menegakkan disiplin, perlu menjatuhkan hukuman disiplin yang setimpal dengan pelanggaran disiplin yang dilakukannya. Dan untuk itu Wakil Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: KEP-IV-041/B/WJA/07/2020 tanggal 29 Juli 2020 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin (PHD) Tingkat Berat, berupa 'Pembebasan Dari Jabatan Struktural' sebagaimana diatur dalam PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil pasal 7 ayat (4) huruf c," kata Hari.
Masih terkait Djoko Tjandra, majelis hakim PN Jaksel juga menetapkan tidak dapat menerima permohonan PK yang diajukan oleh Djoko Tjandra. Berkas perkara buronan kelas kakap tersebut pun tidak dilanjutkan ke MA.
Pertimbangan hukum dari tidak diterimanya permohonan terpidana cessie Bank Bali itu ialah karena yang bersangkutan tidak hadir dalam persidangan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 tahun 12 dan SEMA Nomor 7 tahun 2014.