Selasa 21 Jul 2020 14:39 WIB

Pencairan Gaji ke-13 dan Ancaman Resesi di Depan Mata

Pencairan gaji ke-13 direalisasikan pemerintah bulan Agustus.

Aparatur sipil negara (ASN) akan menerima pencairan gaji ke-13 tahun 2020 pada bulan Agustus. Pencairan gaji ke-13 tersebut diharapkan bisa menjadi stimulus bagi perekonomian yang terdampak pandemi Covid-19.
Foto: Antara
Aparatur sipil negara (ASN) akan menerima pencairan gaji ke-13 tahun 2020 pada bulan Agustus. Pencairan gaji ke-13 tersebut diharapkan bisa menjadi stimulus bagi perekonomian yang terdampak pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Febrianto Adi Saputro, Intan Pratiwi

Kondisi pandemi yang tak kunjung berakhir telah berdampak ke perekonomian negara. Penurunan daya beli masyarakat yang signifikan berefek ke tidak berputarnya perekonomian negara.

Baca Juga

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk memberikan stimulus ke masyarakat secara langsung adalah pencairan gaji ke-13. Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan, pencairan gaji ke-13 untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) dilakukan pada Agustus, mundur dari realisasi biasanya, yakni awal Juli.

Seperti pemberian THR tahun ini, stimulus berupa gaji ke-13 akan diberikan pada ASN, prajurit TNI dan anggota Polri dengan level di bawah eselon satu, eselon dua, dan pejabat negara. Sri mengatakan, pemerintah menganggap pelaksanaan gaji ke-13 sama seperti THR, yaitu dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari stimulus ekonomi atau untuk mendukung kemampuan masyarakat dalam melakukan kegiatan sosial dan ekonomi. Khususnya, terkait tahun ajaran baru.

"Sehingga pembayaran gaji-ke 13 ini sekarang dilaksanakan sebagai bagian dari stimulus perekonomian kita," ujar Sri dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (21/7).

Pemberian gaji ke-13 sudah dipertimbangkan sejak awal pandemi untuk diberikan pada kuartal ketiga, terutama setelah melihat tekanan dalam terhadap ekonomi. Khususnya dari sisi permintaan atau konsumsi rumah tangga, di mana ASN merupakan salah satu unsurnya.

Pencairan gaji ke-13 akan dilaksanakan melalui perubahan dua regulasi yang menjadi basis pemberian stimulus. Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas PP 19/2006 tentang Pemberian Gaji, Pensiun atau Tunjangan Ketiga Belas Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun atau Tunjangan. Regulasi kedua, PP Nomor 38 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PP 24/2017 tentang Pemberian Penghasilan Ketiga Belas kepada Pimpinan dan Pegawai NonPNS pada Lembaga Non Struktural.

Sri mengatakan, akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk merevisi dua beleid hukum tersebut. "Diharapkan, bisa selesai dalam satu sampai dua minggu, sehingga pada Agustus, sudah bisa melakukan pembayaran gaji ke-13," katanya.

Dalam pelaksanaannya, Sri memastikan, pemerintah akan terus melakukan monitoring, terutama pelaksanaan perubahan PP 35/2019 dan PP 38/2019. Tidak hanya di pusat, juga di lingkungan pemerintahan daerah.

Pemerintah sudah menganggarkan Rp 28,5 triliun untuk pemberian gaji dan pensiun ke-13. Dari total anggaran yang disiapkan, sebanyak Rp 14,6 triliun di antaranya bersumber dari APBN. Sedangkan, sisanya dari APBD untuk pembayaran ke ASN daerah.

Sri menyebutkan, kebijakan pemberian gaji ke-13 telah ditampung dalam APBN Tahun Anggaran 2020 sejak tahun lalu. Tapi, pelaksanaannya harus berubah dengan mempertimbangkan situasi ekonomi yang tertekan akibat pandemi Covid-19.

Perubahan yang dimaksud adalah kriteria ASN penerima stimulus. Berbeda dengan realisasi tahun lalu, kebijakan gaji dan pensiun 13 tidak akan diberikan kepada pejabat negara, eselon satu, eselon dua dan pejabat yang setingkat. Skema serupa juga sudah diberlakukan saat pemberian THR tahun ini.

"Jadi, seluruh ASN, TNI dan Polri yang berada di luar kategori tersebut akan menerimanya," tutur Sri.  

Pemberian stimulus memang diharapkan bisa membantu laju perekonomian dalam negeri. Pasalnya, ancaman resesi turut menimpa Indonesia.

Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyebutkan, ancaman resesi sudah di depan mata meskipun pemerintah sudah memberlakukan kebijakan new normal sejak Juni. Apabila benar terjadi, ini akan menjadi resesi ekonomi pertama sejak 1998.

"Walau saat ini memang belum masuk resesi, tapi kita perkirakan kontraksi ekonomi terjadi pada kuartal kedua dan ketiga," kata Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal dalam diskusi daring bertajuk CORE Mid Year Review 2020, Rabu (21/7).

Faisal mengatakan, kondisi tersebut sangat dimengerti mengingat pertambahan jumlah kasus di Indonesia yang terus meningkat. Tren ini terus terjadi bahkan sejak new normal diterapkan pada bulan lalu.

Secara keseluruhan, Faisal menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 akan mengalami kontraksi 1,5 persen hingga tiga persen. Skenarionya masih sangat tergantung pada penanganan pandemi Covid-19 dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Pertumbuhan akan minus 1,5 persen apabila puncak pandemi Covid-19 terjadi pada kuartal ketiga dan pemerintah tidak memberlakukan kembali PSBB. Tapi, jika kasus baru Covid-19 terus meningkat, bahkan sampai kuartal keempat, yang ditambah dengan pemberlakuan kembali PSBB, maka kontraksi akan semakin dalam hingga tiga persen.

Faisal mengatakan, kontraksi terdalam akan terjadi pada kuartal kedua. "Antara minus empat hingga enam persen," tuturnya.

Krisis kali ini terutama dikarenakan adanya kontraksi terhadap sisi permintaan, berbeda dengan kekhawatiran pada awal pandemi Covid-19, yaitu gangguan pada sisi ketersediaan.

Pelemahan demand terlihat jelas pada indikator indeks penjualan riil yang menggambarkan sektor riil di Indonesia. Indikatornya mengalami kontraksi sangat tajam, sejak wabah terjadi, yakni sekitar minus 16 persen. Bahkan, pada Mei, tingkatnya sampai menyentuh minus 20,6 persen.

Ketika new normal diberlakukan, sempat diprediksi indeks penjualan riil ini akan membaik. Tapi, Faisal mengatakan, realisasinya akan sangat sulit mengingat banyak orang masih menahan konsumsi. "Kontraksinya tetap double digit, kita prediksi di angka minus 14 persen," ujarnya.

Kontraksi permintaan terlihat pada masyarakat golongan menengah ke bawah. Dari data yang dipaparkan Direktur Riset CORE Piter Abdullah, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di bawah Rp 100 juta melambat sangat tajam pada Mei, mengindikasikan pelemahan daya beli kelompok tersebut.

Salah satu penyebabnya adalah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di banyak perusahaan. "Mereka harus menjaga tingkat konsumsinya dengan menggunakan tabungan. Dan itu menggerus jumlah tabungan yang nilainya di bawah," ujarnya.

Di sisi lain, pertumbuhan DPK di atas Rp 2 miliar meningkat drastis. Artinya, Piter menjelaskan, golongan menengah ke atas ini memilih untuk merealokasi pengeluaran mereka yang seharusnya untuk konsumsi menjadi ke tabungan.

Meski kondisi tiap penabung berbeda-beda, Piter menekankan, situasi saat ini menggambarkan bahwa tingkat konsumsi masyarakat menurun. "Ini berdampak pada posisi DPK masyarakat di perbankan," ucapnya.

Buruknya perekonomian Indonesia diperkuat pula lewat hasil survei terbaru Indikator Politik Indonesia. Hasilnya sebanyak 57 persen responden menyebut kondisi ekonomi nasional dalam keadaan buruk. Sedangkan 12,2 persen responden lainnya mengatakan kondisi ekonomi nasional sangat buruk.

"Jadi total ada kurang lebih sekitar hampir 70 persen masyarakat yang mengatakan kondisi ekonomi nasional buruk atau sangat buruk," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, dalam pemaparannya secara daring, Selasa (21/7).

Sementara di sektor ekonomi rumah tangga, sebanyak 58,5 persen responden mengatakan bahwa kondisi ekonomi rumah tangga mereka dalam keadaan lebih buruk. Namun hasil tersebut mengalami penurunan dari survei yang pernah dilakukan pada bulan Mei yaitu di angka 65,4 persen responden yang mengatakan ekonomi rumah tangga dalam kondisi yang lebih buruk.

"Sebagian besar responden mengatakan memburuk tetapi tidak lebih buruk dari survei di bulan Mei," ujarnya.

Dari sisi pendapatan rumah tangga, responden juga mengaku mengalami penurunan pendapatan. Pada survei bulan Mei, sebanyak 86,1 persen responden mengatakan bahw pendapatan mereka mengalami penurunan. Sedangkan pada survei terbaru pada Juli berubah menjadi 75,7 persen responden yang mengatakan pendapatannya menurun.

"Dugaan saya itu terkait dengan PSBB yang relatif dilonggarkan selama beberapa bulan terakhir," ucapnya.

Survei tersebut dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada 13-16 Juli 2020. Responden yang dilibatkan dalam survei tersebut sebanyak 1.200 responden. Survei dilakukan melalui telepon berdasarkan data base yang dimiliki dalam survei dua tahun terakhir, serta margin of error sebesar 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan mengatakan penanganan Covid-19 di Indonesia berjalan seiring dengan penanganan ekonomi. Luhut mengharapkan semua masyarakat disiplin dalam menerapkan tiga hal, yakni memakai masker, cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, serta jaga jarak.

"Itu perlu terus diperhatikan. Tapi jangan berlebihan juga, jangan juga terlalu aneh-aneh, biasa-biasa saja karena Indonesia menurut hemat saya posisinya masih cukup bagus dibandingkan dengan negara lain," katanya.

Ia mengatakan setiap negara memiliki strategi atau taktik masing-masing. Sehingga tidak sama karena Indonesia merupakan negara kepulauan tentu punya cara sendiri untuk mengatasi

Ia mengatakan tidak ada satu negara pun di dunia yang ingin rakyatnya sengsara. "Apalagi Presiden Joko Widodo selalu mengingatkan kami untuk berbuat yang terbaik buat rakyatnya," kata Luhut menegaskan.

photo
Resesi ekonomi. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement