Rabu 15 Jul 2020 20:38 WIB

Kepasrahan Novel Jelang Putusan Persidangan yang Janggal

Majelis Hakim PN Jakarta Utara dijadwalkan bacakan vonis kasus Novel Baswedan besok.

Novel Baswedan
Foto: Republika/Thoudy Badai
Novel Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah

Pembacaan vonis dua terdakwa penyerang Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis dijadwalkan digelar oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara besok, Kamis (16/7). Sebelumnya, keduanya dituntut 1 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara.

Baca Juga

Novel sendiri sudah mengaku pasrah dengan apa yang akan diputuskan oleh Majelis Hakim PN Jakarta Utara. Novel bahkan meminta agar Majelis Hakim tak menghukum kedua terdakwa atas perbuatan yang tidak dilakukannya.

"Tidak boleh menghukum orang yang tidak berbuat, sekalipun yang bersangkutan menghendaki tapi tidak didukung bukti yang memadai," kata Novel Baswedan dalam pesan singkatnya, Selasa (14/7).

Novel meminta agar Majelis Hakim tidak memaksakan dengan mengondisikan fakta atau mengada-adakan bukti. Karena, lanjut Novel, persidangan seharusnya digelar untuk menemukan kebenaran materiil.

"Bukan untuk justifikasi atas dasar kepentingan agar ada 'pelaku'," tegas Novel.

Sehingga, bila tidak ada kualifikasi bukti yang mencukupi, maka kedua terdakwa haruslah diputus bebas. Sejak awal, Novel yakin bahwa kedua terdakwa bukanlah pelaku penyerangan yang sebenarnya.

"Jangan sampai wajah hukum semakin rusak dengan banyaknya kejanggalan, masalah dalam proses hukum ini," ujar Novel.

Tim Advokasi Novel Baswedan juga mendesak, Ketua Mahkamah Agung memberikan jaminan Majelis Hakim PN Jakarta Utara bertindak objektif terkait putusan dua terdakwa penyerang penyidik KPK.

“Kami juga mendesak agar Majelis Hakim tidak ikut andil dalam peradilan sesat saat membacakan putusan besok,” kata Anggota Tim Advokasi, Kurnia Ramadhana dalam pesan singkat yang diterima Republika, Rabu (15/7).

Selain itu, sambung Kurnia, Komisi Yudisial juga harus aktif untuk mendalami dan memeriksa apabila ada indikasi dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Tak hanya kepada Komisi Yudisial, Tim Advokasi juga mendesak agar Komisi Kejaksaan harus memeriksa dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Desakan ini dilayangkan, karena Tim Advokasi menilai selama jalannya persidangan kedua terdakwa memiliki banyak kejanggalan. Adapun, kejanggalan dalam persidangan antara lain, saksi-saksi yang dianggap penting dalam upaya untuk mengungkap kejahatan terorganisir ini tidak dimintai keterangan di muka persidangan.

Kemudian, barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara pun tidak ditunjukkan dalam proses persidangan. Seharusnya, lanjut Kurnia, jaksa yang menjadi representasi kepentingan korban terlihat berpihak pada pelaku kejahatan.

“Kesimpulan ini dapat diambil pada saat proses pemeriksaan saksi korban, Novel Baswedan. Pertanyaan yang diutarakan oleh jaksa terkesan menyudutkan Novel. Bahkan tuntutan jaksa juga mengikis rasa keadilan korban itu sendiri,” tutur Kurnia.

Dalam mendakwa dan menuntut pun jaksa tidak bertindak atas nama individu melainkan kelembagaan. Pemilihan penuntut umum dan rencana penuntutan (rentut) jelas merupakan tindakan kelembagaan.

“Oleh karena itu segala tindakan penuntutan di persidangan termasuk menuntut rendah dan lebih bersikap sebagai pembela terdakwa adalah perintah kelembagaan," terang Kurnia.

Selain itu, pendampingan hukum yang dilakukan oleh Polri terhadap dua terdakwa kental dengan nuansa konflik kepentingan. Sebab, Ketua Tim Pendampingan Hukum para terdakwa sebelumnya merupakan pihak yang juga menyelidiki kasus ini dan tidak berhasil mengungkap kasusnya.

“Sehingga, publik dapat dengan mudah menerka sikap Polri tidak mungkin akan objektif dalam menangani perkara ini,” ucap Kurnia.

“Mabes Polri juga harus segera memeriksa Kadivkum, Irjen Rudy Herianto, yang sebelumnya menjadi penyidik kasus ini lalu kemudian menjadi kuasa hukum dua terdakwa. Terlebih terdapat dugaan penghilangan barang bukti dilakukan oleh yang bersangkutan,” tambah Kurnia.

Jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara dalam sidang pembacaan tuntutan pada 11 Juni 2020 lalu menuntut 1 tahun penjara kepada Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. JPU menilai para terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke mata Novel.

Jaksa menyampaikan aksi terdakwa tersebut untuk memberikan pelajaran kepada Novel dengan menyiramkan asam sulfat ke badan namun di luar dugaan mengenai mata Novel. Keduanya dinilai terbukti melakukan dakwaan subsider pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Tapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi," kata anggota JPU Kejari Jakarta Utara Ahmad Fatoni, Kamis (11/6).

Ronny dan Rahmat diketahui adalah polisi aktif dari Satuan Gegana Korps Brimob Kelapa Dua Depok. Dalam surat tuntutan disebutkan kedua terdakwa yaitu Ronny Bugis bersama-sama dengan Rahmat Kadi Mahulette tidak suka atau membenci Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Polri.

Sementara pengacara Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, sepakat kliennya dituntut 1 tahun penjara oleh JPU Kejari Jakut.

"Karena tujuan persidangan bukan hanya memberikan hukuman ke terdakwa, tapi juga pelajaran kepada masyarakat," kata kuasa hukum dua terdakwa, Brigjen Eddy Silitonga saat membacakan duplik, Senin (6/7).

photo
Sidang awal penyiraman air keras ke Novel Baswedan digelar. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement