REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) era Firli Bahuri lebih banyak menghasilkan kontroversi dibanding menangani perkara. Salah satunya yakni dijadikannya lembaga antirasuah sebagai tuan rumah dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI pada Selasa (7/7)
"KPK lebih rajin produksi kontroversi dibanding proses perkara. Terakhir saya tidak tahu kenapa, proses RDP dibawa ke KPK dan dilakukan tertutup," kata Zainal dalam diskusi yang digelar secara daring, Rabu (8/7).
Terlebih, usai RDP, beberapa anggota DPR RI banyak melontarkan pujian kepada KPK jilid V tersebut. Menurutnya, pujian dari legislator bukan merupakan hal positif bagi kinerja KPK.
"Semakin dipuji politisi itu kualitasnya semakin tak pas di publik," ujar Zainal.
Menurut Zainal, KPK saat ini telah memasuki fase new normal di mana lembaga antirasuah tak lagi sebuas era sebelumnya. Ia juga menilai bila KPK sudah jauh dari kesan menjaga martabat kelembagaan internal.
"Kita bayangkan KPK yang dulu itu normal buas terhadap penegakan etik di internal, melakukan upaya luar biasa dalam lakukan pemberantasan korupsi rasanya ini semua sudah ditinggalkan. Saya lihat KPK baru, jilid baru dengan fase new normal itu bisa diperdebatkan," ujarnya.
Fase new normal KPK tak terlepas dari UU KPK hasil revisi, yang membuat kinerja lembaga antirasuah tidak optimal lantaran memunculkan dualisme kepemimpinan. Diketahui, lembaga antirasuah saat ini memiliki Dewan Pengawas.
"Ada komisioner, ada Dewan Pengawas, seperti ada dualisme. Ini terkesan membingungkan, komisioner katakan apa kemudian Dewas katakan apa. Kalau diadu siapa yang bohong siapa yang langgar kode etik itu tidak jelas," kata Zainal.
Oleh karena itu, Zainal memandang sistem kinerja KPK hasil revisi bukan malah memperbaiki kinerja KPK. Tapi menghadirkan dualisme kepemimpinan.
"Kalau Dewas kita anggap tak lakukan tugasnya secara baik, tidak lakukan pengawasan penuh terhadap komisiner KPK yang berantakan itu, Dewas KPK akan dilaporkan ke mana? Itu yang saya bilang buruknya kontruksi mekanisme di internal KPK," ujarnya.