Selasa 07 Jul 2020 21:15 WIB

Cegah Politik Dinasti, Parpol Perlu Uji Publik Calon Pilkada

Uji publik untuk mengetahui rekam jejak bakal calon seperti hubungan kekerabatan.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Djohermansyah Djohan
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Djohermansyah Djohan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan mendorong partai politik (parpol) mengadakan uji publik terhadap kandidat calon kepala daerah yang maju dalam Pilkada 2020. Uji publik ini untuk menghindari politik dinasti. 

Dengan uji publik, dapat diketahui rekam jejak bakal calon mulai dari hubungan kekerabatan dengan pejawat kepala daerah maupun petinggi negara. "Karena sekarang normanya enggak ada, kita hanya menganjurkan, menyerukan supaya kalau ada orang yang tali temali hubungan karib kerabat dengan petahana atau dengan petinggi itu dibongkar terlebih dahulu," ujar Djo saat dihubungi Republika, Selasa (7/7).

Baca Juga

Menurut dia, uji publik oleh partai politik tersebut dapat memberikan rekam jejak yang berujung pada penilaian kemampuan menjadi kepala daerah. Dalam uji publik itu, ada panelis yang menanyakan kepada kandidat terkait hubungan kekerabatan seperti istri, suami, anak, menantu, keponakan dari pejabat negara.

"Rekam jejak dari calon itu dibuka ke media massa, pengalaman selama ini, bekerja di mana, apa pernah ada kasus perbuatan tercela, terlibat narkoba atau menipu dalam bisnis/perdagangan," kata Djo.

Dengan demikian, konsituen dapat menilai kemampuan kandidat calon kepala daerah tersebut. Djo mengingatkan, pemilih tidak memilih calon kepala daerah hanya karena terpengaruh atau terpesona oleh faktor hubungan kekerabatan dengan pejawat atau pejabat yang lebih dikenal terlebih dahulu.

Djo mengatakan, publik harus terlibat dan rewel apabila ada calon-calon yang berasal dari dinasti politik yang tidak kompeten, tidak berintegritas, kurang kemampuan, tidak berpengalaman sama sekali dalam mengurusi orang banyak, atau tidak bersentuhan dengan publik. Sehingga, roda pemerintahan daerah tidak berujung pada kasus korupsi.

"Maka, dengan tekanan publik seperti itu diharapkan dia tidak dicalonkan," tutur Djo.

Mantan direktur jenderal otonomi daerah Kementerian Dalam Negeri itu telah mengusulkan aturan pembatasan bagi praktik politik dinasti dalam draf usulan perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang digagas oleh DPD RI. Formulanya, pejawat kepala daerah diwajibkan cuti dari jabatannya ketika ada kerabat yang mencalonkan diri di pilkada.

Ia berharap, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan pejawat karena berusaha memenangkan kerabatnya yang maju di pilkada. Misalnya, untuk menghindari kepala daerah mengerahkan dukungan dari aparatur sipil negara (ASN) dengan ancaman pencopotan jabatan.

Sementara itu, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dini Suryani mengatakan, ketentuan pembatasan pejawat bisa dilakukan. Namun, ia menyangsikan keefektifan mencegah politik dinasti. 

Menurut dia, mencegah mobilisasi biroraksi dalam memilih kerabatnya yang mencalonkan diri di daerah yang sama cukup sulit. "Kembali ke komitmen parpol untuk benar-benar menjadi wadah rekrutmen politik yang objektif. Sayangnya ini yang belum optimal dilakukan oleh parpol kita. Malah terkesan ada simbiosis mutualisme antara parpol dengan politik dinasti," kata Dini.

Menurut dia, cara yang paling efektif dalam memutus kekuatan politik dinasti adalah pendidikan politik ke masyarakat. Namun, upaya itu membutuhkan waktu sangat panjang. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement