REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP MPR) RI Fahira Idris mengingatkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang pecandu dan bekas pengguna narkoba maju sebagai calon pada pemilihan kepala daerah.
"Keputusan yang tepat dan wajib ditaati oleh penyelenggara pilkada dengan menolak calon kepala daerah mantan pemakai atau pengedar narkoba yang tidak memenuhi tiga kondisi seperti yang ditetapkan MK," kata Fahira kepada wartawan, di Jakarta, Senin.
Putusan MK itu, menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal DKI Jakarta tersebut, sudah tepat yang harus didukung, dan sebenarnya perbuatan tercela yang dimaksud tidak hanya narkoba, jika merujuk pada Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Fahira mengatakan KPU harus membuat peraturan sebagai syarat pilkada dan dimasukkan dalam PKPU terkait larangan pecandu narkoba maju dalam pilkada dan meyakini penyelenggara pilkada sudah memahami putusan MK tersebut. Ia menyebutkan partai yang mengusung figur bekas pengguna, pecandu, dan bandar narkoba sebagai calon kepala daerah juga akan sia-sia, karena sudah ada aturan dalam UU sebagaimana putusan MK.
"Pasti akan sia-sia, ya, karena memang sudah tegas dilarang UU. Jika ada partai yang tetap mendorong calon mantan pengguna atau pengedar narkoba walau UU sudah melarang berarti partai tidak patuh dan tidak taat asas dan partai seperti ini tidak layak dipercaya," katanya pula.
Lebih lanjut, Fahira meminta semua pihak, baik penyelenggara, partai, dan masyarakat jeli sebelum memilih figur kepala daerah pada pilkada nanti dengan mencari sebanyak mungkin informasi atau rekam jejak semua calon. Figur yang dipilih, kata dia, semestinya yang punya kapasitas dan integritas serta rekam jejak calon kepala daerah, menunjukkan bahwa calon yang bersangkutan bertanggung jawab, menunjukkan keteladanan, berjiwa besar, jujur, amanah, dan antikorupsi, dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela yaitu menjadi pemakai atau pengedar narkoba.
"Salah satu tugas besar kepala daerah memastikan daerahnya bersih dari peredaran narkoba, dan tugas ini hanya bisa dijalankan oleh kepala daerah yang dalam rekam jejaknya tidak pernah tersadung kasus narkoba," katanya lagi.
Kapasitas dan integritas, kata dia, adalah sebuah paduan yang wajib dimiliki figur-figur calon kepala daerah, selain punya kompetensi tinggi yang didapat lewat pengalaman, pendidikan, kemampuan manajerial, dan lainnya.
"Lebih baik lagi, jika figur tersebut dalam kiprahnya selama ini concern dan sudah bertindak nyata dalam program-program pemberdayaan masyarakat. Calon seperti ini dapat kita ketahui dari rekam jejak calon yang bersangkutan," katanya lagi.
Sebagaimana diketahui, MK telah memutuskan mantan pengguna narkoba dilarang menjadi calon kepala daerah sejalan dengan penolakan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pilkada 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 10 Tahun 2016.
Pasal itu melarang seseorang dengan catatan perbuatan tercela mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Adapun perbuatan tercela yang dimaksud adalah judi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, dan berzina.
Putusan MK itu berawal ketika mantan Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Noviadi mengajukan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 10 Tahun 2016. MK menyebut bahwa pemakai narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, kecuali dalam tiga kondisi.
Pertama, pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat yang bersangkutan. Kedua, mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi. Ketiga, mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.