Jumat 26 Jun 2020 19:06 WIB

Plasma Konvelesen Jadi Salah Satu Pilihan Terapi Pengobatan

Plasma konvelesen menjadi satu pilihan terapi karena obat Covid-19 belum ditemukan.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang Jakarta, Dr dr Erlina Burhan, SpP(K)
Foto: Republika TV/Fian Firatmaja
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang Jakarta, Dr dr Erlina Burhan, SpP(K)

REPUBLIKA.CO.ID, 

Plasma Konvelesen Jadi Salah Satu Pilihan Terapi Pengobatan Corona

Baca Juga

JAKARTA -- Terapi plasma Konvelesen bisa menjadi salah satu pilihan pengobatan pada pasien yang terinfeksi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) karena belum ada obat yang spesifik bisa menyembuhkan. Karena itu, beberapa rumah sakit (RS), termasuk RS Persahabatan siap melakukan tindakan terapi ini.

Dokter Spesialis Paru RS Persahabatan Erlina Burhan mengatakan, plasma konvelesen menjadi satu pilihan terapi karena obat khusus Covid-19 belum ditemukan. "Ada opsi (terapi) plasma konvalesen untuk pasien Covid-19 dengan kondisi yang berat," katanya saat konferensi pers virtual di akun Youtube saluran Badan Nasional Penanggulangan Bencana  (BNPB) bertema Terapi plasma konvelesen menjadi terapi alternatif pengganti, Jumat (26/6).

Ia menambahkan, cukup banyak rumah sakit di Indonesia yang kini tengah melakukan uji klinis. Di antaranya Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) hingga RS Persahabatan yang menjadi tempatnya praktik bekerja.

Erlina menambahkan, pihaknya telah mengumumkan ke pasien kalau ada pendonor yang sukarela membantu memberikan plasma konvelesen maka pihaknya siap melaksanakan tindakan tersebut. Ia menambahkan, sebenarnya terapi ini sudah lama dilakukan sejak era 1900 an untuk kuratif penyakit difteri.

Bahkan, ia menyebutkan terapi ini pernah dilakukan saat pandemi sindrom pernapasan akut (SARS) beberapa waktu lalu. Kemudian, dia melanjutkan, kini negara-negara yang menerapkan terapi ini sekaligus tengah melakukan uji klinis termasuk China. 

Ia menyebutkan, negeri tirai bambu itu menjadi negara pertama yang melaksanakan uji klinis karena menjadi tempat pertama yang terinfeksi. "Tetapi pasien yang diuji di China masih sedikit, bahkan Korea juga hanya sebanyak dua pasien atau penelitian di tempat lain dengan jumlah pasien yang juga sedikit. Meski hasilnya lumayan bagus, cukup efektif tetapi belum bisa diambil kesimpulan (terapi plasma konvelesen) firm berhasil," katanya.

Kendati demikian, pihaknya menegaskan tetap mendukung terapi ini sebagai salah satu terapi pengobatan. Di satu sisi, ia meminta yang terpenting adalah upaya pencegahan karena penyakit ini belum ada obatnya. Ia meminta masyarakat memakai masker, jaga jarak, cuci tangan hingga tingkatkan imunitas tubuh. "Terapkan protokol kesehatan," ujarnya.

Di kesempatan yang sama, Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Institute Amin Soebandrio menjelaskan, plasma konvelesen berasal dari pasien yang sudah sembuh atau penyintas. Ia menjelaskan, tubuh pasien yang pernah terinfeksi virus itu telah terbentuk antibodi dan bisa membantu orang lain yang juga tertular virus itu. Kemudian, dia melanjutkan, plasma sang mantan penderita Covid-19 ini diambil dan diberikan pada pasien Covid-19 yang mengalami kondisi menengah hingga berat.

"Tetapi ini hanya terapi, semacam menjadi imunisasi pasif dalam tubuh manusia untuk mempercepat penyembuhan pasien (Covid-19). Dengan demikian, lingkaran infeksi (penularan virus) bisa terputus," ujarnya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement