Rabu 24 Jun 2020 17:20 WIB

Dilema Pemerintah, Membuka Sekolah dan Melindungi Masyarakat

Pemerintah menyadari betul adanya ketidaksetaraan kemampuan belajar dari rumah.

Seorang murid sekolah dasar mengerjakan soal Ujian Akhir Semester (UAS) Genap di rumahnya di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (8/6/2020). Pemerintah belum akan kembali membuka sekolah hingga kawasan berubah menjadi zona hijau. Pembukaan sekolah di zona hijau juga harus memperhatikan aturan ketat perlindungan kesehatan masyarakat.
Foto: Antara/Arnas Padda
Seorang murid sekolah dasar mengerjakan soal Ujian Akhir Semester (UAS) Genap di rumahnya di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (8/6/2020). Pemerintah belum akan kembali membuka sekolah hingga kawasan berubah menjadi zona hijau. Pembukaan sekolah di zona hijau juga harus memperhatikan aturan ketat perlindungan kesehatan masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Andrian Saputra, Inas Widyanuratikah

Pemerintah mengalami dilema kembali membuka kegiatan sekolah atau madrasah maupun pesantren di masa tatanan normal baru atau new normal. Wapres Ma'ruf Amin menerangkan, pemerintah ingin tetap melindungi kesehatan masyarakat. Namun di sisi lain belajar dari rumah masih menimbulkan ketidaksetaraan.

Baca Juga

"Pembukaan kegiatan sekolah/madrasah dan perlindungan kesehatan menjadi dilema yang sangat sulit bagi pemerintah," ujar Ma'ruf saat sambutan dalam web seminar 'Madrasah Diniyah Takmiliyah, Hambatan dan Harapan menghadapi New Normal', Rabu (24/6).

Ia mengatakan, hasil studi di beberapa negara menunjukkan gangguan pada pendidikan dapat menyebabkan jangka panjang terutama bagi kelompok rentan. Sebab, pendidikan pada kelompok ini tidak hanya memberikan keamanan dan perlindungan tetapi juga untuk harapan masa depan.

Sementara, belajar dari rumah masih menimbulkan persoalan ketidaksetaraan karena banyak rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap intenet. Ia mengatakan, berdasarkan data BPS tahun 2018, ada sekitar 61 persen anak tidak memiliki akses internet di rumahnya.

Karena itu, diperlukan persiapan agar belajar di rumah dapat tetap efektif. Termasuk persiapan agar anak dapat terlayani pendidikannya dengan tetap menyesuaikan kondisi koneksi internet, infrastruktur dan fasilitas belajar berbasis daring.

"Terutama di wilayah yang akses internet sangat terbatas. Dalam hal ini, pemerintah sedang menyiapkan kebijakan dan langkah untuk memberikan fasilitas yang diperlukan guna mendukung pelaksanaan pembelajaran jarak jauh," kata Ma'ruf.

Sedangkan, jika sekolah maupun madrasah atau pesantren kembali dibuka harus dengan protokol kesehatan yang ketat. Meski hanya sekolah yang berada di zona hijau, namun ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sekolah maupun madrasah yang ingin kembali memulai kegiatan sekolah secara tatap muka.

Mulai dari tes terhadap siswa, santri maupun para pengajar, kedua menyiapkan fasilitas cuci tangan lengkap dengan sabun dan hand sanitizer, ketiga memastikan jaga jarak atau physical distanding diterapkan baik di ruang kelas maupun di tempat tinggal santri serta penyemprotan disinfektan di fasilitas utama.

Namun, kata Ma'ruf, ada tantangan untuk kembali membuka kembali sekolah maupun pesantren. "Kebanyakan sarana dan prasarana asrama pesantren masih sangat minim," katanya.

Ma'ruf menyebut kebanyakan pesantren tidak memiliki standar baku perbandingan jumlah santri dan luas kamar tidur. Kondisi tersebut membuat penerapan physical distancing sangat sulit.

"Terutama di pondok pesantren yang memiliki ratusan bahkan ribuan santri," kata Ma'ruf.

Karena itu, perlu terus dicarikan solusi untuk pembelajaran bagi para santri yang lebih efektif bila pembelajaran tatap muka belum dilakukan dalam waktu dekat.  Ia pun mengajak pengelola pesantren, guru, orangtua, santri dan calon santri, para pakar pendidikan dan perlindungan anak agar diperoleh solusi terbaik.

"Misalnya dengan inovasi bentuk pembelajaran kelompok-kelompok kecil dan penyesuaian kurikulum dengan format pembelajaran jarak jauh. Hal ini perlu dilakukan karena adanya perbedaan karakter antara belajar tatap muka dengan belajar jarak jauh," katanya.

Dampak pandemi Covid-19 dirasakan banyak sekolah di Tanah Air. Termasuk sekolah Islam swasta.

Dengan dana terbatas, sekolah-sekolah Islam swasta berupaya menghadapi berbagai tantangan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di tengah masa kenormalan baru.

Seperti yang dihadapi SMK Maarif Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta. SMK swasta yang berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta itu juga menghadapi sederet persoalan selama masa pandemi.

Menurut Kepala Sekolah SMK Maarif, Suharmuji, belakangan ini terdapat sejumlah wali murid yang mengeluhkan kondisi ekonominya yang tidak stabil. Hal Imbasnya adalah siswa yang tak dapat membayar Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP).

"Ada yang mengeluh misalnya pedagang, jualannya itu terkendala, nggak ada pendapatannya, akhirnya nggak bisa bayar SPP. Apalagi yang kerja serabutan," kata Suharmuji kepada Republika.co.id.

Namun, Suharmuji menjelaskan SMK Maarif Wonosari berupaya untuk tetap menyemangati siswa agar tetap mengikuti kegiatan belajar mengajar. Caranya dengan menerapkan pembelajaran jarak jauh atau belajar daring, SMK Maarif pun memberikan dana untuk pembelian paket data internet bagi siswa sehingga bisa mengikuti kegiatan belajar mengajar maupun ujian. Seperti pada pelaksanaan ujian semester, per siswa memperoleh dana paket data internet dari mulai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu.

"Ada kendala lain lagi dengan anak yang tidak punya HP. Otomatis dia kerjasama dengan anak lain yang punya HP. Sekolah tak mampu untuk mengadakan, membeli HP, nanti yang lain iri. Kalau paket data bisa dikasih kebijakan," katanya.

Sementara itu, menurut Suharmuji penerapan belajar langsung rencananya akan dimulai Juli mendatang. Sekolah pun sudah mempersiapkan berbagai hal yang dibutuhkan untuk menjalankan protokol kesehatan mulai dari pengadaan alat pengecekan, disinfektan hingga hand sanitizer. Menurut Suharmuji untuk menyiasati kebutuhan pembelajaran siswa selama masa pandemi Covid-19, sekolah memanfaatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sesuai aturan pemerintah.

"Jadi selain SPP itu kan kita ada BOS, bisa digunakan untuk talangan semuanya. Seperti perlengkapan paket data tadi itu juga bisa pakai BOS. Untuk perlengkapan siswa seperti buku itu kan ada KIP dan Kartu cerdas. Kalau guru kan ada BOSDA dan BOSNAS."

Sekolah Dasar Islam Terpadu Cendikia, Klaten, Jawa Tengah, turut merasakan dampak pandemi. Kepala Sekolah SD IT Cendikia Klaten, Sholaekhah Ambar Utami menjelaskan berdasarkan kebijakan pemerintah pusat yang membolehkan penggunaan dana BOS dalam masa pandemi Covid-19 baru-baru ini, sekolah pun menggunakan dana BOS untuk pengadaan peralatan protokol kesehatan serta paket data bagi siswa agar dapat mengikuti belajar daring.

"Sesuai arahan, pendanaannya diambil dari BOS untuk persiapan new normal. Termasuk diperbolehkan untuk pembelian pulsa siswa. Tetapi Alhamdulillah untuk SPP, wali murid tidak ada kendala sejauh ini," katanya.

Pandemi Covid-19 juga menjadi persoalan bagi wali murid yang menghadapi masa pendaftaran penerimaan siswa baru. Seperti yang dialami Sri (40), warga Wonosari Gunungkidul yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh rumahan.

Ia mengaku selama masa pandemi Covid-19 atau sebelum keluarnya kebijakan Kemendikbud, Sri harus merogoh kocek lebih bagi anaknya yang belajar di salah satu sekolah Islam swasta di Wonosari, Gunungkidul, untuk membelikan paket data internet. Sebab menurut Sri, sekolah tidak memberikan bantuan paket data untuk pelaksanaan belajar daring.

"Pulsanya ya beli sendiri buat belajar sama ujian hari-hari itu. Sekarang anak saya sudah selesai ujian tinggal menunggu ijazah dan cari untuk daftar ke SMA," kata Sri.

Memasuki masa pendaftaran siswa baru, Sri pun harus kembali menyiapkan dana bagi anaknya agar bisa melanjutkan pendidikan. Di lain sisi, anaknya pun masih mempunyai tanggungan SPP yang harus dibayarkan di sekolah sebelumnya. Sri berharap adanya bantuan dari pemerintah untuk meringankan biaya pendaftaran masuk sekolah di masa pandemi ini.

"Belum tahu ini bagaimana nanti biayanya, untuk tebus ijazah kelulusan saja masih ada tunggakan. Untuk daftar sekolah saya juga nggak tahu bagaimana nanti," tuturnya.

Anggota Komisi X DPR RI, Illiza Sa'aduddin Djamal mengapresiasi langkah pemerintah yang telah mengizinkan penggunaan dana BOS untuk membantu sekolah-sekolah swasta yang juga terdampak pandemi Covid-19.  "Kita tahu sekolah swasta di kota besar tentu berbeda dengan sekolah swasta di daerah, sekolah swasta di kota besar jauh lebih mandiri dari sekolah swasta di daerah. Padahal sekolah swasta di daerah sebetulnya mereka justru memberi suport dukungan kepada pemerintah yang kita tahu sekolah di Indonesia sangat kurang jumlahnya. Tentu keberadaan sekolah swasta ini harus tetap dijaga," katanya.

Menurut Illiza kendati jumlah bantuan yang diberikan yakni sebesar Rp 3,2 triliun belum cukup untuk membantu seluruh kebutuhan sekolah swasta di masa pandemi, namun menurutnya pemerintah sudah mengambil langkah maju dengan memberikan perhatian bagi sekolah swasta.  "Dana stimulan lainnya mungkin tidak ada, jadi mungkin hanya dana BOS yang bisa dipakai untuk mempersiapkan sekolah untuk seluruh protokol kesehatan dan kesejahteraan guru," kata Illiza.

Iliza mengakui komisi X DPR RI belum turun langsung ke lapangan untuk melakukan pengawasan tentang penggunaan dana BOS bagi sekolah swasta. Namun Komisi X tengah membuat Panitia Kerja (Panja) untuk memantau mulai dari pelaksanaan pembelajaran jarak jauh hingga skema penyaluran dan pengambilan dana bantuan tersebut oleh sekolah.

Pembelajaran jarak jauh yang sudah berlangsung sejak Maret disadari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) belum efektif. Karena pemerintah akan memangkas sejumlah kompetensi dasar (KD) pada tahun ajaran baru 2020/2021.

Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen), Hamid Muhammad mengatakan, saat ini keseluruhan pemangkasan masih sedang disiapkan oleh Pusat Kurikulum. "Jadi adalah penyesuaian KD, agar tidak terlalu berat bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah," kata Hamid, dalam telekonferensi, Senin (22/6).

Sebelumnya, sejumlah organisasi guru dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan agar Kemendikbud membuat kurikulum darurat Covid-19. Hamid mengatakan, pemangkasan KD ini sebagai bentuk jawaban rekomendasi tersebut dengan harapan memudahkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) nantinya.

Ia mencontohkan, untuk kelas III SD terdapat sekitar 26 KD. Penyesuaian yang dilakukan Kemendikbud memangkas total KD tersebut menjadi terintegrasi sebanyak 16 KD. Kemendikbud telah memilih KD yang paling esensial diterapkan saat ini.

Selain itu, Hamid juga mengatakan, pihaknya menyiapkan modul-modul yang bisa digunakan guru dan siswa selama menjalani PJJ. Modul-modul ini, kata Hamid akan dibuat dengan lebih ringkas sehingga siswa dapat memahami sendiri pelajarannya. Diharapkan, pembelajaran secara mandiri bisa dilakukan lebih efektif.

"Jadi nanti modul ini bisa dipakai secara mandiri. Jadi modul-modul ini tidak sama dengan buku pelajaran siswa, tetapi lebih ringkas yang itu bisa dipelajari oleh siswa sepanjang anak ini bisa membaca, diharapkan bisa belajar secara mandiri," kata Hamid menjelaskan.

Modul-modul ini juga ditambahkan dengan video pembelajaran. "Sebagai bagian dari modul ini, kita juga menyiapkan video pembelajaran praktik-praktik baik yang bisa diakses oleh sekolah-sekolah," kata dia lagi.

Ia menjelaskan, selama tiga bulan terakhir, Kemendikbud mendorong sekolah melakukan penyesuaian kurikulum secara mandiri. Hal ini, menurut Hamid sesuai konsep merdeka belajar.

Namun, setelah dievaluasi ternyata tidak banyak sekolah yang melakukan penyesuaian ini. Oleh karena itu, Kemendikbud memutuskan untuk membuat penyesuaian agar nantinya bisa diterapkan pada tahun ajaran baru.

Ketua KPAI, Susanto mengakui telah mengusulkan kurikulum darurat ini kepada Kemendikbud. Sebab, berdasarkan rapat koordinasi nasional yang dihadiri Kementerian Agama, Dinas Pendidikan, organisasi guru, PJJ membutuhkan kurikulum khusus.

"Prinsipnya bahwa, membaca dan mencermati kebutuhan sekaligus aspirasi para guru memang butuh apa yang disebut dengan penyesuaian dalam situasi darurat," kata Susanto.

Ia menjelaskan, secara aspek yuridis, anak dalam kondisi darurat memiliki kebutuhan yang berbeda. Apalagi, secara sosiologis dan psikologis anak, situasi darurat yang saat ini terjadi tentu berbeda dengan kondisi normal yang biasa dialami oleh anak. "Maka, kurikulumnya harus disesuaikan adaptif dan sesuai yang dialami saat ini," kata dia lagi.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga telah meminta Kemendikbud membentuk kurikulum darurat selama masa pandemi. Kurikulum darurat dinilai harus dibentuk sesuai dengan aspirasi dari guru-guru di daerah.

photo
New Normal di Sekolah - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement