Sabtu 20 Jun 2020 22:27 WIB

Moeldoko Ungkap Mengapa RI Pilih Damai di Laut China Selatan

Moeldoko beberkan analisis di balik Indonesia pilih diplomasi di Laut China Selatan.

Moeldoko beberkan analisis di balik Indonesia pilih diplomasi di Laut China Selatan. KRI Tjiptadi-381 mengikuti sailing pass di Laut Natuna, Rabu (15/1/2020).
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Moeldoko beberkan analisis di balik Indonesia pilih diplomasi di Laut China Selatan. KRI Tjiptadi-381 mengikuti sailing pass di Laut Natuna, Rabu (15/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA— Mantan panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Moeldoko mengatakan Indonesia akan mengambil langkah diplomasi manakala terjadi sengketa di Laut China Selatan, sesuai dengan doktrin politik luar negeri bebas aktif.

"Sesuai doktrin politik luar negeri yang bebas aktif, Indonesia akan melakukan pendekatan diplomasi untuk kelangsungan perdamaian di kawasan itu,” kata Moeldoko pada acara PYC 4th Anniversary Webinar Series dengan topik Geopolitik Energi di Laut Cina Selatan: Kekuatan Diplomasi, di Jakarta, Sabtu (20/6).

Baca Juga

Hingga saat ini wilayah Laut China Selatan menjadi perebutan beberapa negara, khususnya China dan Amerika Serikat. Di kawasan tersebut juga terjadi pertahanan dan perang dingin antara kedua negara adidaya.

Secara geopolitik, Indonesia berada pada posisi strategis dalam persoalan Laut China Selatan. Namun, Moeldoko menyampaikan apabila benar-benar pecah konflik, Indonesia akan mengambil posisi netral, tidak memilih keberpihakan pada salah satu negara.

Pada kesempatan itu, pendiri PYC dan Pionir Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan) Purnomo Yusgiantoro menjelaskan saat ini ada sembilan titik yang diklaim menjadi wilayah teritorial China di kawasan tersebut.

Kekuatan besar dua negara, Amerika Serikat dan China, memperebutkan sumber daya energi di sekitar kawasan.

“Kita tak terlibat namun ada lapangan gas terbesar di wilayah tersebut yang menjadi perhatian kita. Perlu ada prinsip diplomasi dalam menghadapi isu geopolitik di kawasan Laut China Selatan,” ujar Purnomo.

Menurut Purnomo, kekuatan diplomasi Indonesia mengenai wilayah Natuna sempat terhenti karena pandemi Covid-19. Pembicaraan yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun tidak bisa dilanjutkan, meski dilakukan secara virtual.

“Pembicaraan diplomasi ini lebih diinginkan secara tatap muka, kita berharap dapat ditindaklanjuti," ujar dia.

Sementara itu, mantan Menteri Perdagangan dan Duta Besar Indonesia untuk Jepang dan Federasi Micronesia Muhammad Lutfi mengatakan pertumbuhan ekonomi dunia akan sangat pesat terjadi di negara berkembang.

Terkait hal tersebut, menurut Lutfi, penguasaan sumber daya alam akan menjadi pertarungan. Penguasaan teknologi yang saat ini sedang ditingkatkan China akan memperkuat perekonomian.

Menurut dia, AS memantau negara-negara yang menerapkan demokrasi, menjunjung hukum dan kebebasan untuk berpendapat, salah satunya Indonesia.

“Kita menjadi calon sahabat sejati di masa depan. Kenapa? Karena kriteria itu ada di Indonesia. Ada kepentingan AS, Indonesia punya situasi yang unik di Laut China Selatan, " ujar Lutfi.

Sementara itu, penasihat senior Kantor Staf Presiden, Andi Widjajanto, menjelaskan China berhasil melakukan diplomasi energi untuk mengamankan energi terkait keinginannya untuk menjadi pemain utama di dunia. China membangun militer, gelar kekuatan dan cita-cita China adalah mendapat keamanan energi dan gelar investasi energi ke hampir seluruh dunia.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement