REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Antara
Pola pembelajaran yang paling efektif bagi murid di era pandemi Covid-19 masih terus dirumuskan. Salah satu opsi yang disebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah menyiapkan dua pembelajaran. Yaitu pembelajaran tatap muka dan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Metode ini diharapkan bisa mengakomodasi murid yang terkendala ke sekolah di zona hijau untuk tetap bisa bersekolah. Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen), Hamid Muhammad mengatakan, meskipun semua persyaratan dipenuhi, keputusan akhir anak boleh kembali ke sekolah berada di orang tua.
"Kalaupun ini layak dan boleh buka, maka keputusan akhir ada di orang tua. Apakah orang tua bersedia mengirim siswanya ke sekolah?" kata Hamid, dalam telekonferensi.
Ia menambahkan, apabila ada orang tua yang tidak mau mengirimkan anaknya ke sekolah, maka sekolah harus menyiapkan dua pembelajaran. Hamid menjelaskan, pembelajaran tatap muka dan PJJ harus disiapkan sekolah untuk mengantisipasi perizinan orang tua.
Hamid menjelaskan, kebijakan pembukaan sekolah dan pembelajaran tatap muka bukan menjadi kewajiban. Pembelajaran tatap muka dan segala kegiatan yang dilakukan sekolah menjadi pilihan bagi pemangku kepentingan, baik pemerintah hingga orang tua siswa.
"Tetapi, yang wajib dilakukan pemerintah daerah, manakala zona hijau ini dibuka, kemudian dalam waktu seminggu atau dua minggu kasus Covid-19 meningkat, maka wajib menutup kembali sekolah," kata dia lagi.
Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim menilai dua skema pembelajaran sekaligus di sekolah, yaitu PJJ dan tatap muka, tidak akan berjalan efektif. Menurutnya, jumlah guru tidak memadai untuk menjalankan sistem tersebut.
Di dalam protokol kesehatan untuk sekolah yang boleh dibuka di zona hijau, salah satunya masing-masing siswa di dalam kelas harus diberi jarak. Hal ini menyebabkan kemungkinan dibuatnya sistem shift agar kelas tidak terlalu penuh.
Apabila sistem ini berjalan, Satriwan menjalankan kemungkinan akan ada shift pagi dan siang. Artinya, guru harus mengajar dua kali sesuai giliran yang sudah ditentukan oleh masing-masing sekolah.
"Dua skema ini tidak bakal bisa mulus, karena tenaga gurunya sedikit. Misal, guru cuma satu mata pelajaran tertentu, sedangkan dia harus mengajar dua shift, lalu malam dia harus PJJ juga. Tidak mungkin," kata Satriwan, Kamis (17/6).
Selain itu, apabila sistem tersebut diterapkan maka harus akan sulit menentukan perhitungan jam. Satriwan menjelaskan, guru di sekolah dihitung selama delapan jam. Apabila guru harus mengajar kembali setelah itu maka, Satriwan mempertanyakan bagaimana nanti perhitungan jamnya.
Satriwan juga menjelaskan, dampak psikologis dua skema ini akan berbeda bagi siswa, orang tua, hingga guru. Menurutnya, pembelajaran tatap muka tentu akan lebih memuaskan daripada pembelajaran jarak jauh.
"Makanya, FSGI berulang-ulang, lebih baik sudah kita PJJ saja ketimbang membuat dua desain yang dua itu akan memunculkan masalah baru dan tidak efektif," kata dia lagi.
Pimpinan DPRD DKI Jakarta Zita Anjani mendorong adanya inovasi kurikulum pendidikan di masa pandemi Covid-19 agar pemerintah tetap hadir dalam penyelenggaraannya secara merata, bermutu dan berkualitas. "Soal kampanye merdeka belajar, menurut saya, ini gagal paham, sangat salah. Karena sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan bukan pasar bebas seperti ekonomi. Pemerintah wajib hadir dalam penyelenggaraan pendidikan yang merata, bermutu dan berkualitas dengan inovasi kurikulum," ujar Zita di Jakarta, Kamis (18/6).
Di Jakarta, kata politikus PAN tersebut, proses belajar di rumah selama tiga bulan masa pandemi, dikhawatirkan berpengaruh buruk terhadap perkembangan peserta didik yang tak jarang dibiarkan begitu saja dengan dunia internet dengan minim pengawasan dari orang tua dan guru.
"Di DKI Jakarta itu kan zona merah. Kalau sampai dua tahun terus merah, bagaimana proses KBM (kegiatan belajar mengajar) di Jakarta nantinya. Saya sampaikan, katakan tidak untuk diskriminasi karena pendidikan itu untuk semua," katanya.
Oleh karena itu, Zita menawarkan beberapa solusi strategis untuk sektor pendidikan dalam masa normal baru. Yakni, proses belajar secara daring dengan pendampingan dari guru bagi masyarakat yang memiliki akses gadget dan internet serta pengawasan orang dewasa dan inovasi kurikulum.
Selain itu, pihaknya juga mengusulkan belajar berjarak dengan mendatangkan guru ke rumah atau komunitas di lingkungan, seperti kantor RW, RPTRA dan lokasi umum lainnya.
"Belajar dengan jarak dibutuhkan bagi siswa yang tidak memiliki akses gadget dan internet. Kemudian untuk belajar di sekolah, di saat zona semua hijau. Ini juga tetap memerlukan inovasi kurikulum," ujarnya.
Pihaknya juga menyarankan agar pemerintah memberikan diskon tarif provider untuk seluruh akademia, baik siswa, guru dan lainnya. Jika diperlukan, tarif provider itu digratiskan untuk mempermudah proses pembelajaran jarak jauh. Lalu pemerintah disarankan memberikan kemudahan biaya sekolah untuk sekolah swasta.
"Mas Menteri juga harus meningkatkan infrastruktur digital dengan membuat aplikasi belajar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta membuat bahan belajar seperti buku dan sebagainya melalui format PDF," tuturnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) ikut dilibatkan dalam mengatasi masalah pembelajaran daring. Hetifah mengatakan, salah satu masalah besar yang membuat pembelajaran daring terkendala adalah kurangnya akses internet di sejumlah daerah.
"Kami berharap, Kemenkominfo bisa dilibatkan. Karena dalam situasi sekarang ini, kita tidak berharap pembelajaran jarak jauh ini menimbulkan suatu digital divide yang lebih hebat lagi di Indonesia," kata Hetifah, dalam telekonferensi bersama Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju, Kamis (18/6).
Ia menjelaskan, faktanya daerah-daerah yang sudah terakses internet memiliki literasi digital yang lebih baik dibandingkan yang sulit. Tentunya, di masa depan penting bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki literasi digital yang baik.
"Kita tidak mungkin meninggalkan metode ini karena literasi digital yang baik ke depan akan tetap kita pertahankan, dan saya yakin sudah banyak sesi sharing antarguru atau orang tua, membuat kita mengejar ketertinggalan kita selama ini," kata Hetifah menambahkan.
Ia berharap, Kemenkominfo mengambil langkah terkait kesulitan akses internet ini. Hetifah mencontohkan, Kemenkominfo bisa memberikan bantuan gratis kuota kepada keluarga yang memiliki anak usia sekolah atau kepada mahasiswa. Langkah Kemenkominfo, menurut Hetifah, juga bisa mengenai komitmen bahwa memastikan tahun ini seluruh Indonesia sudah terjangkau jaringan internet.
"Ini yang belum kita dengar komitmen Menkominfo. Padahal, ini sangat mempengaruhi efektivitas pembelajaran kita selama masa Covid-19 dan setelah pandemi juga," kata dia lagi.