REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Deteksi Ancaman Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Sulistyo mengatakan bahwa tidak ada pengawas praktik intelijen di ruang siber. Sulistyo juga mengimbau masyarakat untuk tidak gampang mengumbar informasi pribadi di ruang siber.
"Meskipun pada era konvensional maupun era digital, praktik intelijen itu sama-sama berlangsung," kata Sulistyo dalam diskusi dengan tema "Intelijen di Era Digital" di Jakarta, Selasa (10/6).
Jika di ruang konvensional, menurut dia, barang keluar masuk atau orang keluar masuk ada yang mengawasi. Namun, di ruang siber atau ruang digital, yang mengawasi itu tidak ada. Sulistyo mengatakan bahwa BSSN hanya instansi sipil dan bukan bagian dari lembaga intelijen negara.
Kendati, tugas-tugas BSSN dalam melaksanakan keamanan siber secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan, mengembangkan, dan mengonsolidasikan semua unsur yang terkait dengan keamanan siber, BSSN selalu berkoordinasi dengan komunitas intelijen. "BSSN adalah instansi sipil, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 53 dan 133 Tahun 2017, yang tugasnya adalah mengonsolidasikan semua sumber daya siber yang ada di Indonesia, tentunya ada juga kemampuan intelijen siber di dalamnya," ujar Sulistyo
Menurut Sulistyo, praktik intelijen di ruang siber perlu untuk diwaspadai agar informasi itu dapat digunakan sebaik-baiknya untuk kemanfaatan diri dan negara, bukan dipakai untuk kepentingan sekelompok orang atau korporasi untuk menangguk keuntungannya. Batasan untuk pengawasan di ruang siber, menurut Sulistyo, cuma ada dua hal, yaitu pertama internet protocol (IP) number, yang kedua adalah name domain.
"Itu saja sebenarnya yang membatasi ruang siber kita," kata Direktur BSSN itu.
Edukasi terhadap apa-apa yang boleh dibagikan di ruang digital, lanjut dia, menjadi poin penting dari keamanan siber. Untuk itu, dia ingin setiap orang memahami bahwa informasi pribadi pun jika dikumpulkan, masih dapat dijadikan sebuah pengetahuan (knowledge) tentang banyak hal.
"Intelijen dapat memanfaatkan kumpulan informasi-informasi pribadi itu," kata Sulistyo.
Jika dikumpulkan, informasi pribadi pun dapat dianalisis sehingga dijadikan pengetahuan yang dapat disalurkan untuk berbagai kepentingan, baik itu kepentingan bisnis maupun kepentingan lain yang mungkin melanggar hukum.
"Kita (masyarakat Indonesia) ini terlalu gampang mengumbar informasi tentang diri kita, tentang keluarga kita, tentang kelompok kita di media sosial. Jadi, gampang banget kalau mau memetakan (profiling) diri orang," kata Sulistyo.
Bahkan, menurut Sulistyo, sebenarnya seseorang yang bukan intelijen pun bisa mendidik dirinya sendiri agar menjadi private investigator (intelijen mandiri) karena orang Indonesia gampang sekali membagikan informasi. "Apa aja diceritain, itu bisa digunakan," kata Sulistyo.