Jumat 05 Jun 2020 04:14 WIB

Rumah Ibadah dan Pesantren Butuh Sarana di Era Normal Baru

Organisasi keagamaan memandang ada sejumlah peraturan yang tumpang tindih

Warga melaksanakan ibadah shalat di Masjid Al-Irsyad Satya, Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (30/5/2020). Pemprov Jawa Barat akan memberlakukan penerapan tatanan Normal Baru (New Normal) pada 1 Juni di 15 kota/kabupaten secara bertahap yang dimulai dari pembukaan rumah ibadah dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Warga melaksanakan ibadah shalat di Masjid Al-Irsyad Satya, Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (30/5/2020). Pemprov Jawa Barat akan memberlakukan penerapan tatanan Normal Baru (New Normal) pada 1 Juni di 15 kota/kabupaten secara bertahap yang dimulai dari pembukaan rumah ibadah dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Rumah ibadah dan pesantren sangat membutuhkan sarana dan prasarana pendukung dalam penerapan fase normal baru agar bisa menjalankan protokol kesehatan dengan baik. Koordinator Satgas DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, bertemu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di kantor PBNU, Rabu (3/6) mengatakan Pemerintah idealnya membantu memfasilitasi rumah ibadah dan pesantren dalam penyediaan sarana pendukung penerapan protokol kesehatan.

“Anggaran untuk membeli disinfektan, hand sanitizer, alat pengukur suhu itu tidak semua mampu. Kami berharap ini menjadi perhatian tersendiri agar ada alokasi anggaran khusus untuk membantuk rumah ibadah dan pesantren yang tidak mampu,” katanya.

Selain bertemu PBNU, Satgas DPR RI bertemu dengan para pemimpin organisasi keagamaan lainnya yakni Pengurus Pusat Muhammadiyah, Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Sufmi mengatakan Satgas DPR RI meminta masukan dari sejumlah organisasi keagamaan terkait rencana pemerintah menerapkan normal baru. Masukan dari para pemimpin agama dan ulama itu akan diteruskan kepada pemerintah.

Berdasarkan pertemuan itu, organisasi keagamaan memandang ada sejumlah peraturan yang tumpang tindih. Selain itu, narasi-narasi yang digunakan dalam penerapan aturan kerap sulit untuk dicerna masyarakat awam. “Supaya aturan-aturan yang ada tidak saling tumpang tindih dan gampang diterjemahkan  masyarakat di level paling bawah,” kata Sufmi.

Penerapan normal baru juga harus dipersiapkan sangat hati-hati, terutama penerapannya membutuhkan persiapan yang matang. “Terutama untuk masalah rumah ibadah dan pesantren, pemerintah juga mesti memberi perhatian yang lebih,” ujarnya.

Ia menegaskan, kedatangan Satgas DPR RI juga bertujuan untuk mendorong pemerintah agar mau berkoordinasi dengan “civil society” dalam menangani COVID-19. “Kesimpulannya pandemi COVID-19 ini bisa kita atasi kalau kita bekerja sama, kompak, kuat, bersatu. Kalau tidak, ini bisa lama. Apa pun itu, kekuatan bersama sangat penting untuk menghadapi COVID-19,” ujarnya.

Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj, mengatakan kehadiran Satgas DPR RI merupakan langkah positif di saat Indonesia tengah menghadapi wabah Covid-19. Ia mengimbau pemerintah untuk menggandeng seluruh elemen masyarakat dalam menanggulangi pandemi. “Ketika kita menghadapi musuh bersama maka kita harus bergandengan tangan untuk menghadapi tantangan di depan mata kita. Jangan dianggap remeh, jangan dianggap kecil. Ini tidak bisa teratasi hanya oleh satu pihak saja, harus ramai-ramai, ya pemerintahnya, ya masyarakatnya, ya ‘civil society’, tokoh-tokoh masyarakatnya,” katanya.

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI, Agustinus Heri Wibowo, berharap regulasi yang diterbitkan pemerintah mudah, aman, dan cepat bisa diimplementasikan. “Sehingga tidak menimbulkan hal-hal kontraproduktif atau menimbulkan masalah baru,” kata Heri.

Ia menegaskan, regulasi yang diterbitkan pemerintah itu mesti mendukung penerapan protokol kesehatan dan tidak menimbulkan penyimpangan. Aturan tersebut mesti melihat situasi dan kondisi di tiap wilayah. Pasalnya, tidak semua daerah terdapat kasus COVID-19. “Pemerintah perlu memberi ruang yang cukup bagi majelis agama untuk mengambil keputusan,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah perlu melakukan koordinasi secara khusus sebelum menerapkan normal baru di rumah ibadah. “Agar teknisnya jangan rumit dan berbelit,” kata Heri.

Tak kalah penting, perlu ada sistem pengawasan terpadu yang melibatkan semua pihak. “Bukan hanya penyelenggara ibadah yang diawasi, tetapi pemberi izin juga mesti diawasi,” ucapnya.

KWI mengingatkan semua pihak untuk tidak membenturkan faktor kesehatan dengan ekonomi. “Dalam situasi sekarang ini, tidak terlalu diperlawankan antara penanganan COVID-19 dengan ekonomi. Tidak mungkin kita berdoa tapi tidak makan. Jangan lagi dibentur-benturkan karena ekonomi dan kesehatan masyarakat bisa berjalan beriringan,” katanya.

Sufmi Dasco lebih lanjut menegaskan seluruh organisasi keagamaan meminta penerapan normal baru di rumah ibadah dilakukan secara hati-hati. “Hal yang wajar kalau diperbolehkan ibadah tapi tetap terjamin keselamatan dan kesehatannya,” kata Dasco.

 

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement