REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalbe Farma bersama perusahaan Korea Selatan Genexine Korea melakukan uji klinis vaksin DNA untuk Covid-19 di Korea Selatan pada Juni 2020. Menanggapi hal ini, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Irmansyah mengatakan pihaknya akan mengusahakan uji klinis juga akan segera dilakukan di Indonesia.
"Sebetulnya ini baru penjajakan awal dan semua proposal sudah dibuat. Rencana memang segera setelah uji selesai di Korea, kita langsung ke sini uji klinisnya," kata Irmansyah, dihubungi Republika, Rabu (3/6).
Direktur Utama Kalbe Farma, Vidjongtius menjelaskan, pihaknya bersama rekan perusahaan di Korea Selatan yaitu Genexine bekerjasama membuat vaksin Covid-19. Ia menjelaskan, uji klinis di Indonesia juga akan dilakukan. Namun, terkait uji klinis di dalam negeri, saat ini Kalbe Farma sedang melakukan komunikasi dengan berbagai isntansi pemerintah, institusi riset, akademisi, dan profesi kedokteran di Indonesia.
"Kalbe berharap, dengan ikut serta konsorsium riset ini dapat memberikan akses vaksin Covid-19 secepatnya bagi seluruh masyarakat Indonesia," kata Vidjongtius, dihubungi terpisah.
Adapun tahapan uji klinis di Indonesia, kata Irmansyah dibagi menjadi empat. Fase-fase tersebut adalah memastikan keamanan obat, melihat efektivtias obat pada pasien, perbandingan efektivitas obat dengan pengobatan standar, dan post marketing surveillance.
"Jadi tahap satu itu biasanya menguji keamanan. Jadi, itu dicoba pada orang dan dilihat fokus dengan dia memasukkan obat, vaksin, atau yang lain di dalam tubuh, lalu kita evaluasi reaksi dalam tubuh itu apa untuk melihat reaksi-reaksi negatif. jadi fokus pada keamanan," kata Irmansyah.
Pada tahap satu biasanya yang dilakukan uji coba sebanyak 30 hingga 100 orang. Selanjutnya, adalah tahapan kedua yaitu melihat respon dosis dan akhirnya bisa menentukan dosis yang tepat.
Tahapan kedua, kata Irmansyah membutuhkan uji coba kepada lebih banyak orang. Biasanya pada tahapan ini akan ditambahkan kelompok umur tertentu yang akan dilakukan uji coba.
Ia menjelaskan, penambahan terhadap kelompok umur tertentu adalah untuk melihat keefektivitasan dari obat itu. Apabila uji coba dinilai aman pada lebih banyak orang, maka akan dicoba dengan dosis yang lebih banyak.
Di tahapan ini obat atau vaksin diberikan kepada subjek normal yaitu orang yang tidak sakit. Selain itu, juga dilakukan pada subjek jenis kedua yaitu orang yang sakit namun tidak parah karena bertujuan untuk melihat dosis.
Selanjutnya adalah tahapan ketiga yaitu dilakukan kepada orang yang sakit namun dengan jumlah yang lebih banyak. Biasanya uji klinis tahapan ketiga dilakukan terhadap sekitar 1.000 orang. Tahapan ini juga dilakukan dengan proses evaluasi lebih ketat.
"Untuk vaksin diberikan kepada orang normal. Tapi, prinsipnya tetap sama, antara satu kemanan, dua cari dosis, ketiga untuk efektivitas lebih besar," kata Irmansyah.
Ia menambahkan, dalam keadaan normal, proses pembuatan vaksin bisa dilakukan cukup lama yaitu delapan hingga 15 tahun. Namun, untuk keadaan darurat seperti saat ini, proses uji klinis bisa dipercepat dengan beberapa tahapan yang dilakukan secara bersamaan.
Tahapan pertama dan kedua bisa dilakukan secara bersamaan sehingga lebih menghemat waktu. "Bisa overlapping. Nggak perlu satu selesai kita evaluasi, tunggu, kemudian berapa kelompok, tunggu lagi baru masuk fase kedua. Kalau sekarang kondisi begini banyak yang bisa overlapping," kata Irmansyah menegaskan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, untuk vaksin sebenarnya sudah banyak percepatan dibantu dengan majunya teknologi. Beberapa bulan tearkhir, kata dia, sudah ada kandidat-kandidat vaksin yang melewati fase praklinik. Setelah itu akan masuk ke uji klinis yang membutuhkan waktu lebih lama lagi. Namun, saat ini tahapannya telah dipercepat dengan beberapa overlapping tadi.
"Sehingga harapannya sih vaksin ini bisa lebih cepat tersedia di lapangan," kata dia lagi.