REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas (Unand) Khairul Fahmi menilai, sejumlah konsekuensi harus dihadapi pemerintah dan penyelenggara pemilu jika pilkada serentak digelar Desember 2020. Pertama, penyelenggara pemilu harus menyiapkan protokol kesehatan yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Lalu yang kedua, tambahan biaya pelaksanaan pilkada dirasa akan cukup berat.
"Hari ini saja kita dengar dari beberapa teman-teman yang melaksanakam pilkada, pemda bahkan ada yang sudah meminta agar hibah daerah dikembalikan dulu ke pemda untuk penanganan Covid. Ini kan tantangan juga yang berat bagi penyelengara pemilu kalau seandainya akan tetap pilkada," kata Khairul dalam diskusi daring Selasa, (26/5).
Menurutnya, ada banyak alasan mempertimbangkan untuk meninjau kembali jadwal keserentakan pilkada sebagaimana yang sudah diputuskan Perppu 2 Tahun 2020 tersebut, seperti kejelasan status tanggap darurat nasional sebagaimana Keppres 12 2020 dan keserentakan pemilu sebagaimana putusan MK 55 Tahun 2019 yang dirasa tidak memungkinkan dilakukan 2024. Namun demikian, secara hukum pilkada bisa juga tetap bisa dilaksanakan Desember tetapi tidak dilakukan serentak di 270 daerah.
"Secara hukum juga memungkinkan jika memang ini pilihannya. Misalkan dari 270 daerah ini berapa kira-kira daerah yang masih berstatus hijau, dalam arti belum ada warga disana yg terkonfirmasi Covid 19, dan berapa daerah yang statusnya sudah merah dan juga diterapkan PSBB,"
Menurutnya, jika peta tersebut dibuka lebih detail oleh KPU, maka hal tersebut bisa dijadikan dasar untuk menentukan pilkada tetap di 2020 Desember. Akan tetapi, protokol kesehatan Covid-19 tetap harus dilakukan.
"Tetap saja standar penanganan Covid tetap harus dilaksanakan di sana tapi barangkali biayanya akan lebih sedikit dibanding daerah yang sudah berstatus merah atau daerah yang sudah PSBB," jelasnya.