REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas (Unand) Khairul Fahmi menilai KPU, DPR, dan Pemerintah perlu menjadikan Keputusan Presiden (Keppres) 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional sebagai pijakan dalam memutuskan pelaksanaan Pilkada 2020. Menurutnya, pilkada bisa dilanjutkan jika kondisi Indonesia sudah masuk situasi pascabencana.
"Kalau Keprres ini masih berlaku sampai hari ini dan tentunya kita masih jadikan dia sebagai dasar melakukan tindakan-tindakan agenda kenegarawanan, saya kira menggunakan pasal 201 Perppu (2 Tahun 2020) itu sangat beralasan," kata Khairul dalam diskusi daring, Selasa (26/5).
Artinya, ia menambahkan, tahapan pilkada serentak tidak bisa dimulai lagi saat ini. Hal tersebut lantaran Perppu 2 Tahun 2020 mengatur apabila bencana masih berlanjut maka penundaan pilkada bisa dilakukan kembali.
"Pemungutan suara pilkada serentak 2020 itu tidak dilaksanakan Desember, tetapi mungkin akan ditunda apakah nanti ke 2021 bisa jadi 2022 kalau memang situasinya semakin tidak terkendali," ujarnya.
Ia mengakui bahwa status hukum kebencanaan di Indonesia saat ini tidak begitu jelas. Apakah saat ini Indonesia masih dalam status tanggap darurat atau sudah masuk pascabencana. Apalagi, pemerintah sudah memunculkan kebijakan new normal.
"Kalau Keppres ini sampai Juli, Agustus berlaku sebagai penetapan status bencana saya kira ini beralasan hukum bagi KPU untuk kemudian menggunakan pasal 201A Perppu itu untuk kemudian menunda kembali pelaksanaan tahapan pilkada ini," tegasnya.
Selain aspek hukum, ia menganggap pelaksanaan pilkada penting juga mengutamakan aspek kesehatan. Ia tak memungkiri bahwa hak atas kesehatan dan hak untuk memilih adalah dua hak yang dijamin oleh konstitusi namun kesehatan menurutnya jauh lebih penting.
"Kalaupun hak pilih hak fundamental tapi kalau orang tidak sehat bagaimana mau menggunakan hak pilihnya, orang bisa menggunakan hak pilihnya kalau dia sehat," tuturnya.