Senin 25 May 2020 23:13 WIB

Bagaimana Nasib Pelaksanaan Pilkada Desember? (Bagian II)

Komisi II ingin pemerintah memprioritaskan keselamatan masyarakat.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus raharjo
Komisi Pemilihan Umum (ilustrasi).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Komisi Pemilihan Umum (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Komisi II DPR lebih melihat alasan pemerintah ingin memaksakan pilkada tetap digelar Desember dengan alasan yuridis. Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menganggap kecurigaan sejumlah pihak terkait pelaksanaan pilkada Desember menguntungkan pejawat tak beralasan.

Menurutnya, pejawat bisa dipilih kembali karena kinerjanya sudah terlihat. Menurut politikus Partai Golkar ini menjelaskan, dalam UU Pilkada 10 Tahun 2016 Pasal 3, pemilihan kepala daerah dilangsungkan setiap lima tahun sekali. Lalu di UU Pemda, kepala daerah wakil kepala daerah memegang masa jabatannya selama lima tahun.

Baca Juga

"Jadi pemerintah, DPR, waktu itu kenapa ingin Desember itu ingin menegakan aturan tersebut. Jangan sampai pemilihan itu melewati aturan yang sudah ditentukan," tegasnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi mengaku usulan pelaksanaan pilkada Desember merupakan keinginan pemerintah. “Aslinya memang yang ingin ya pemerintah, yang ingin agar pilkada tetep dilaksanakan di tahun 2020 ini ya pemerintah," kata Arwani kepada Republika.co.id.

Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu juga menjelaskan bahwa alasan pemerintah memilih agar pelaksanaan pilkada serentak di bulan Desember 2020. Ia mengatakan ketika tidak ingin agenda-agenda nasional mundur terlalu lama. “Biar tetap berjalan seperti yang dijadwalkan tetapi kalau toh mundur jangan terlalu lama," jelasnya.

Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Komarudin Watubun, meminta agar KPU melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 2021 lantaran pandemi Covid-19 yang belum berakhir. "Idealnya tahun depan (2021) karena problem dasar sampai hari ini pemerintah tidak punya data referensi memastikan puncak pandemi turun," ujar Komarudin kepada wartawan, Senin (18/5).

Ia menilai, jika pilkada dipaksakan digelar tahun ini, maka dikhawatirkan keramaian yang muncul justru berpotensi menularkan virus tersebut. Sekalipun pilkada menerapkan protokol pencegahan Covid-19. "Potensi penyebaran virus corona tetap tinggi sebab tingkat kedisiplinan masyarakat masih rendah," ujar Komarudin.

Kemudian anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Gerindra Sodiq Mudjahid menjelaskan peluang pilkada digelar 2021 dimungkinkan. Hal itu tergantung dari situasi dan kondisi Covid-19 pada bulan Juni. "Jika belum memungkinkan maka bisa jadi mundur 2021," ucapnya.

Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera meminta pemerintah tidak meremehkan pandemi Covid-19. Mardani menilai pemerintah harus mengutamakan keselamatan masyarakat. "Keselamatan publik nomor satu. Pandemi Covid-19 jangan dianggap remeh, pilkada mesti dijalankan dengan mempertimbangkan Pandemi Covid-19," kata Mardani.

Selain itu, ia juga meminta semua pihak untuk menunggu keputusan Satuan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dalam membuat keputusan. Sebab hingga saat ini, Gugus Tugas masih mematok 29 Mei 2020 sebagai tanggal darurat nasionalnya. "Jika kondisi kedaruratan berlanjut, Perppu juga sudah memberi ruang untuk penundaan lanjutan. Intinya kita dahulukan keselamtan publik," ujar politikus PKS tersebut.

Kendati demikian ia menilai kepastian pelaksanaan Pilkada perlu ada. Hal itu lantaran keberadaan kepala daerah definitif memiliki kewenangan penuh untuk mengatasi kondisi darurat dan berat ketimbang dipimpin oleh seorang pelaksana tugas. Hal senada juga disampaikan anggota Komisi II DPR Fraksi PAN Guspardi Gaus. Ia mengusulkan agar sebaiknya pilkada ditunda hingga tahun 2021.

"Kalau Juni ini trennya makin naik, tentu saya mengusulkan di rapat kerja itu ditunda pelaksanaan pilkada yang ditetapkan Perppu 2 Tahun 2020 hingga tahun 2021," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement