REPUBLIKA.CO.ID, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur penundaan Pilkada 2020 dinilai belum memberikan kepastian pelaksanaan pesta demokrasi daerah. Dalam perppu tersebut, pemerintah tetap menginginkan pelaksanaan Pilkada 2020 digelar Desember tahun ini.
Pilihan ini diambil berdasarkan beberapa opsi yang ditawarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Opsi pelaksanaan Pilkada 2020 digelar Desember tahun ini juga menjadi opsi pertama. KPU pun mengakui opsi ini membutuhkan sejumlah prasyarat. Ketua KPU RI Arief Budiman menuturkan, alasan KPU mengusulkan opsi 9 Desember 2020 menyimpa optimisme tingga pandemi Covid-19 bakal berakhir tiga bulan sejak penundaan tahapan pilkada pada Maret lalu.
"Kenapa KPU mengeluarkan opsi Desember, karena kami memperkirakan pada waktu itu pandemi akan selesai dalam waktu tiga bulan," ujar Arief dalam diskusi virtual, Kamis (21/5) malam. Berdasarkan perkiraan optimis itu, KPU percaya tahapan pemilihan lanjutan bisa dimulai kembali pada Mei atau awal Juni.
Jika tahapan sudah bisa dimulai sesuai waktu yang diprediksi, pelaksanaan pemungutan bisa digelar pada Desember 2020. Arief menegaskan, prediksi optimis ini harus dibarengi dengan prasyarat. Antara lain, masa tanggap darurat bencana Covid-19 harus dipastikan berakhir pada 29 Mei ini.
Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dicabut agar masyarakat kembali bebas beraktivitas di luar rumah dan penularan Covid-19 tidak lagi terjadi. Prasyarat kedua ini menjadi kunci tahapan pilkada bisa dimulai kembali. Sebab, pelaksanaan tahapan pilkada membutuhkan interaksi sosial antara penyelenggara pemilu dan masyarakat. Jika prasyarat tersebut bisa dipenuhi, tahapan pilkada bisa dilanjutkan, dan Pilkada 2020 bisa digelar Desember mendatang.
Namun, KPU juga menyiapkan dua opsi lain terkain penundaan Pilkada 2020. Yakni, pada 17 Maret 2021 dan 29 September 2021. Kedua opsi berarti memaksa pilkada digeser bukan lagi pada 2020, melainkan 2021. Arief mengakui, KPU tidak memiliki kemampuan untuk memprediksi kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir. Dua opsi terakhir bisa dibilang sebagai antisipasi jika pemerintah gagal memenuhi prasyarat pilkada bisa digelar Desember mendatang.
"KPU karena tidak punya kemampuan prediksi kapan ini berakhir maka KPU juga mengeluarkan opsi berikutnya apabila pandemi itu belum berakhir di bulan Mei," tegas Arief.
Di tengah kebijakan yang terkesan berubah-ubah dalam penanganan pandemi, pemerintah tetap opstimistis pilkada bisa digelar Desember nanti. Pemerintah masih //ngotot// untuk menggelar pemungutan pada akhir tahun. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar bahkan menyebut tak ada jaminan Covid-19 bakal berakhir pada 2021.
"Kita tidak berpikir tunda, itu kan susah ditunda itu, kan upaya pertama kan Desember, ya sudah saja, sekarang Desember itu yang harus disusun kan, KPU sebenarnya sudah menyusun jadwal untuk Desember," tutur Bahtiar saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (21/5).
Ibaratnya, tahun ini atau tahun depan, tak ada yang bisa menjamin pilkada digelar dalam kondisi Indonesia sudah bebas pandemi Covid-19. Hal itulah yang membuat pemerintah memerintahkan KPU agar 'berdamai' dengan kondisi yang ada untuk menggelar pilkada sesuai opsi pertama pada Desember. Yakni, dengan menerapkan protokol kesehatan.
Apa pertimbangan pemerintah? Bahtiar mengeklaim, pelaksanaan protokol tak akan menghabiskan banyak dana. Penambahan sarana prasarana protokol kesehatan seperti masker, pencuci tangan, termometer tak harus menambah anggaran pilkada. Bahkan, Bahtiar mengingatkan agar penyelenggara bisa menyesuaikan anggaran yang ada untuk memenuhi syarat protokol kesehatan itu. "Kita jangan selalu berpikir nambah (anggaran), bagaimana yang ada disiasati, protokol kesehatannya juga ada," kata Bahtiar.
Selain itu, menurut pemerintah, pelaksanaan pemungutan pada Desember bisa memastikan roda pemerintahan daerah tak terhambat. Berdasarkan catatan Kemendagri, sebagian besar kepala daerah bakal purna tugas pada Februari 2021 mendatang. Artinya, pemerintah tak ingin posisi kepala daerah terlalu diisi pelaksana tugas atau penjabat.
Kecurigaan
Namun, sejumlah kasus yang dilakukan pejawat kepala daerah memunculkan kecurigaan banyak pihak. Kasus bantuan sosial yang dijadikan alat kampanye terselubung menguatkan kecurigaan partai pemilik pejawat ingin memanen hasil secepat mungkin. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, pemaksaan pemungutan pada Desember bisa memberi insentif bagi pejawat.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini muturkan, posisi pejawat bisa digunakan untuk memelihara ingatan dan keterhubungan antara pemilih dan kepemimpinan yang sedang berkuasa. "Untuk mendapatkan impresi politik, sosial, dan psikologis yang lebih besar," kata Titi kepada Republika.co.id, Jumat (22/5).
Titi juga curiga dalih pemerintah yang tidak ingin terlalu banyak penjabat jika pilkada tetap digelar pada Desember. Menurutnya, posisi penjabat yang dipilih nantinya, bisa saja merugikan partai-partai nonpenguasa. Penjabat bisa saja tidak netral atau berpihak pada calon-calon yang berafiliasi dengan penguasa.
Dari berbagai pertimbangan yang ada, Perludem bersama sejumlah masyarakat sipil menerbitkan petisi agar pilkada Desember kembali ditunda. Mereka ingin pemungutan pilkada bisa dilakukan pada 2021 mendatang. Petisi ini baru saja diluncurkan dan berharap, masyarakat menjadi yang paling diuntungkan dari pelaksanaan Pilkada 2020.