REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai banyak kejanggalan terkait pelimpahan perkara yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ihwal tangkap tangan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diketahui, Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Itjen Kemendikbud) bersama KPK telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap percobaan gratifikasi di lingkungan Kemendikbud, pada hari Rabu (20/5).
Namun, KPK mengeklaim karena tidak adanya unsur penyelenggara negara dalam tangkap tangan tersebut, maka perkara dilimpahkan ke kepolisian. Menurut Kurnia, dalam keterangan yang dibuat oleh Deputi Penindakan KPK, Karyoto, dengan sangat mudah masyarakat dapat menemukan poin kejanggalannya.
"Misal, dalam keterangan tersebut dikatakan, belum ditemukan unsur pelaku yang berasal dari penyelenggara negara. Hal ini cukup mengundang tanda tanya bagi masyarakat, sebab sedari awal dalam keterangan tersebut telah menyebutkan bahwa Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mempunyai inisiatif melalui Kepala Bagian Kepegawaian UNJ untuk mengumpulkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) kepada Dekan Fakultas dan lembaga di UNJ agar nantinya bisa diserahkan ke pegawai Kemendikbud," kata Kurnia, Jumat (22/5).
"Dalam hal ini setidaknya ada dua dugaan tindak pidana korupsi dapat digunakan oleh KPK," tambahnya.
Kurnia menjabarkan beberapa dugaan tindak pidana korupsi dalam perkara tedsebut. Pertama, berupa pemerasan atau pungutan liar yang dilakukan oleh Rektor UNJ. Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menjelaskan bahwa Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
"Tentu dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 maka KPK berwenang untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara," tuturnya.
Terlebih lagi, Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 secara tegas mengatakan bahwa penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau membayar dapat dijerat dengan maksimal hukuman 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar. Menurut ICW, kasus dengan model pemerasan seperti ini bukan kali pertama ditangani oleh KPK.
Pada 2013, lembaga antirasuah pun pernah menjerat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Dirjen Pajak, Pargono Riyadi. Saat itu ia diduga melakukan pemerasan terhadap wajib pajak, Asep Hendro, sebesar Rp 125 juta.
Dugaan kedua yakni tindak pidana suap yang dilakukan oleh Rektor UNJ. Tentu dugaan ini akan semakin terang benderang ketika KPK dapat membongkar latar belakang pemberian uang kepada pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Apakah sekadar pemberian THR atau lebih dari itu? Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi: setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri dengan maksud supaya pegawai negeri tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dapat dihukum maksimal 5 tahun penjara," ujarnya.
Untuk itu, karena dalam hal ini pemberi suap diduga adalah Rektor yang notabene menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 merupakan penyelenggara negara, maka sudah barang tentu KPK dapat mengusut lebih lanjut perkara ini. "Atas dasar argumentasi itu, lalu apa yang mendasari KPK memilih untuk tidak menangani perkara tersebut?," ucap Kurnia.
Ia menambahkan, penting untuk ditegaskan bahwa menilai sebuah perkara tidak cukup hanya dengan melihat jumlah uang sebagai barang bukti yang diamankan. Memang, lanjutnya, secara nilai jumlah itu tergolong kecil, hanya sebesar Rp 55 juta.
"Namun, pertanyaan lebih mendalamnya yang harus digali oleh penegak hukum adalah: apakah pemberian ini merupakan kali pertama, atau sebelumnya pernah juga dilakukan?," ujarnya lagi.
Padahal, sambung dia, pada rezim kepemimpinan KPK sebelumnya kerap ditemukan kasus-kasus yang ketika dilakukan tangkap tangan jumlah uangnya sedikit. Akan tetapi setelah didalami ternyata aliran dana yang mengalir pada oknum tertentu tergolong cukup besar. Misalnya saja pada kasus yang melibatkan mantan Ketua PPP, Romahurmuzy.
Saat KPK melakukan tangkap tangan, uang yang ditemukan hanya Rp 156 juta. Namun, saat proses penyidikan serta persidangan berlangsung, diketahui bahwa yang bersangkutan menerima sebesar Rp 346,4 juta.
Kurnia meminta agar ke depan KPK juga mesti berfokus untuk menangani perkara-perkara dengan nilai kerugian negara besar, seperti kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas terhadap Obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun, kasus bailout Bank Century dengan kerugian negara Rp 7,4 triliun, dan pengadaan KTP-Elektronik yang menelan kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun.
"Penting untuk diingat bahwa gaji Pimpinan KPK saat ini tergolong sangat besar yakni lebih dari Rp 100 juta. Maka dari itu, tenaga mereka lebih baik dialokasikan untuk menangani kasus-kasus besar, dibanding hanya memproduksi rangkaian kontroversi," tegasnya.