Jumat 22 May 2020 13:31 WIB

Cerita Meka Ungkap Persoalan di Wisma Atlet

Meka menilai prosedur physical distancing kerap diabaikan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Teguh Firmansyah
Seorang warga beraktivitas dengan latar belakang Wisma Atlet Kemayoran yang difungsikan sebagai rumah sakit darurat di Jakarta.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Seorang warga beraktivitas dengan latar belakang Wisma Atlet Kemayoran yang difungsikan sebagai rumah sakit darurat di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahasiswi doktoral Universitas Indonesia (UI) Meka Saima Perdani mengungkap persoaln yang terjadi di Wisma Atlet C2 Pademangan. Di antaranya, kata, minimnya physical distancing dan informasi bagi orang yang ditempatkan di sana.

Meka menceritakan ketika tiba di bandara Soetta Indonesia dari urusan studi di Jepang pada Senin 18 Mei sore. Meka diarahkan mengisi surat pengantar karantina sebelum digiring untuk pengecekan suhu, saturasi dan nadi. Ia juga menempuh rapid test yang berujung non reaktif (negatif). Proses ini dilakukan tanpa edukasi yang memadai.

Baca Juga

"Kami tidak dijelaskan mengapa harus karantina meski hasil uji covid-19 menunjukkan negatif," kata Meka dalam tulisannya yang dikonfirmasi Republika.co.id, pada Jumat (22/5).

Usai rapid test, Meka menuju bagian Imigrasi untuk stempel kedatangan di Indonesia. Saat itu, paspor Meka ditahan oleh petugas Imigrasi sebagai jaminan agar Meka tak melarikan diri. Sayangnya, pihak Imigrasi sempat berbohong dengan menyatakan Paspor akan dibagikan di luar bandara.

Meka dan pendatang dari luar negeri lainnya kemudian keluar bandara tanpa pengawalan ketat menuju bus. Bus ini akan mengantar mereka ke Wisma Atlet C2 Pademangan.

"Banyak penumpang tidak mengetahui akan informasi ini, mereka kaget, heran dan tidak sedikit yang menangis," ungkap Meka.

Setibanya di Wisma Atlet pada Senin malam, Meka memantau tak ada arahan dan pengawasan untuk menjalani tiap tahapan. Bahkan tanda tahapan berupa poster dan banner tak disediakan. Meka menuding haknya atas perolehan informasi terabaikan di sana.

Ia heran karena kecanggihan teknologi tak bisa dimanfaatkan dalam memberi informasi jelas. "Kami mengikuti prosedur yang informasinya tidak pernah kami dapatkan. Tidak ada protokol yang jelas," sebut Meka.

Meka amati prosedur physical distancing juga sering terabaikan di sana. Pertama, berjajar pedagang di pagar luar Wisma Atlet. Kedua, penghuni Wisma Atlet bebas mengopi, makan dan bergerombol.  "Penggunaan lift tidak terkontrol, berdesakan, adu bahu dan kadang adu mulut. Akhirnya, physical distancing pun gagal diterapkan.

Para penghuni perlu melewati tes swab jika ingin angkat kaki dari Wisma Atlet. Dari ribuan sampel, petugas mengumumkan hasil yang sudah keluar lewat pengeras suara. Suaranya tak sampai ke kamar penghuni. Sehingga penghuni harus aktif keluar kamar mencari informasi. Bahkan sempat terjadi kerumunan massa yang menanyakan hasil swabnya di depan posko kesehatan.

"Jika informasi hasil swab dapat diakses oleh warga dengan sistem online maka mungkin akan mengurangi keramaian. Kita bukan hidup di era purba yang memakai sistem kuno," tegas Meka.

Beruntung hasil swab Meka sudah keluar hari ini. Meka sudah diizinkan pulang karena hasilnya menunjukkan negatif covid-19. Meka tinggal menunggu pengembalian paspor saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement