Selasa 05 May 2020 14:20 WIB

Bawaslu Ungkap Modus Pejawat Kepala Daerah Politisasi Bansos

Tiga tindakan kepala daerah yang bisa kembali maju pilkada dalam menyalurkan bantuan.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
 Ketua Bawaslu Abhan
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Ketua Bawaslu Abhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) R  Abhan mengungkap modus pemanfaatan pemberian bantuan sosial (bansos) oleh kepala daerah terkait Covid-19 untuk kepentingan praktis Pilkada 2020. Setidaknya ada tiga tindakan pejawat kepala daerah yang berpotensi maju pilkada dalam penyaluran bantuan itu.

"Sudah terjadi, memang modusnya ada beberapa hal, soal bansos ini terkait dengan penanganan Covid," ujar Abhan dalam diskusi virtual, Selasa (5/5).

Baca Juga

Pertama, bansos dibungkus atau dilabeli gambar kepala daerah. Abhan menuturkan, ada bansos disertai gambar kepala daerah, yang bersangkutan memakai simbol memakai seragam putih. 

Kedua, bansos dibungkus yang diembeli-embeli dengan jargon-jargon atau simbol-simbol politik. Jargon-jargon kampanye pada periode pilkada sebelumnya atau yang sekarang meskipun belum ada masa kampanye.

Ketiga, pemberian bansos tidak mengatasnamakan pemerintah, tetapi atas nama langsung pribadinya. Abhan mencontohkan, hal ini terjadi kepada Bupati Kabupaten Klaten dan Wali Kota Semarang yang diketahui telah mengantongi rekomendasi dari partai politik untuk maju Pilkada 2020.

"Gambarnya tidak pemerintah, tetapi gambarnya langsung pribadi yang wali kota dan wakil wali kota yang sedang menjabat saat ini, dan kebetulan sudah mendapatkan rekomendasi dari partai untuk maju kembali," kata Abhan.

Bawaslu telah mengeluarkan surat imbauan kepada Bawaslu Provinsi maupun Kabupaten/Kota agar meminta pihak berwenang di daerah masing-masing mengupayakan pencegahan pelarangan pemberian uang atau barang sesuai peraturan perundang-undangan.  "Kami sudah melakukan upaya pencegahan, dan beberapa daerah adanya persoalan ini yang melaporkan, kami sudah melakukan kajian dan klarifikasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan," tutur Abhan. 

Namun, lanjut dia, ada persoalan dari sisi penegakan hukum. Sebab, aturan menyebutkan penindakan dapat dilaksanakan ketika sudah ada penetapan pasangan calon (paslon) dalam Pilkada 2020. 

Sementara, penetapan paslon dijadwalkan 8 Juli 2020. Bahkan, kemungkinan akan mundur akibat penundaan beberapa tahapan pemilihan akibat pandemi Covid-19. 

Pasal 71 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan, kepala daerah dilarang menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan calon dalam waktu enam bulan sebelum penetapan paslon sampai paslon terpilih.

Abhan menjelaskan, ada problem ketika syarat ketentuan itu kumulatif. Misalnya unsur penyalahgunaan program oleh bupati/wali kota terpenuhi, tetapi unsur yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon belum terpenuhi karena hingga saat ini belum ada penetapan paslon.

Di samping itu, belum juga ada tim kampanye secara formal yang didaftarkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu, saat ini pun belum masa kampanye. 

"Kalau seandainya sudah ada penetapan calon belum adanya masa kampanye, kami bisa kenakan kampanye di luar jadwal karena belum saatnya kampanye, mana kala sudahh ada penetapan paslon tapi saat ini belum ada paslon," tutur Abhan.

Namun, ia menambahkan, ada ketentuan terkait larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pasal 76 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di antaranya larangan membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan undang-undang.

Selain itu, kepala daerah dan wakil kepala daerah juga dilarang menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan/atau merugikan daerah yang dipimpin. Akan tetapi, kata Abhan, penindakan pelanggaran ketentuan ini dilaksanakan di wilayah politis melalui DPRD.

DPRD dapat menggunakan kewenangan tersebut untuk melapor kepada Mahkamah Agung (MA). Kemudian MA yang akan menilai, tindakan kepala daerah memenuhi unsur pelanggaran aturan tersebut atau tidak.

"Takutnya ini menjadi problem. Jeruk makan jeruk, seandainya saat ini yang bakal calon yang nanti potensi diusung partai ABCD atau yang diusung mayoritas partai yang menguasai di daerah itu, apakah akan sampai pada mengajukan kepada MA dan sebaganya, ini problem undang-undang demikian," jelas Abhan.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement