REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemohon uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu Covid-19) menilai, Perppu tersebut meniadakan peran DPR dalam memberikan persetujuan anggaran pendapatan belanja negara (APBN) yang diusulkan pemerintah. Hal itu berkaitan dengan Pasal 2 Ayat (1).
"Pasal 2 Ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menihilkan arti penting persetujuan DPR," ujar kuasa hukum pemohon, Ahmad Yani, dalam sidang pendahuluan uji materi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (28/4).
"Karena dengan pengaturan yang demikian, membuka peluang bagi pemerintah untuk memperlebar jarak antara jumlah belanja dan pendapatan sampai dengan tahun 2022, atau setidak-tidaknya, DPR tidak bisa menggunakan fungsi persetujuanya secara leluasa," lanjut mantan anggota DPR itu.
Ia mengatakan, Pasal 2 Ayat (1) huruf a Perppu Covid-19 membuka peluang defisit anggaran di atas 3 persen produk domestik bruto (PDB) tanpa adanya batas maksimal. Aturan itu juga mengikat Undang-Undang APBN sampai tahun anggaran 2022.
Akibat ketentuan tersebut, DPR tidak bisa menggunakan fungsi persetujuanya secara leluasa, karena defisit anggaran telah dipatok. Menurut Ahmad Yani, persetujuan DPR menjadi hal yang sangat penting karena mencerminkan kedaulatan rakyat.
Seandainya DPR tidak menyetujui rancangan UU APBN, maka pemerintah tidak punya pilihan selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Akan tetapi, dengan adanya Pasal 2 Ayat (1) dalam Perppu ini, ia menilai DPR tidak punya lagi fungsi persetujuan tersebut.
Ahmad Yani menilai, diaturnya batas minimal defisit tanpa menentukan batas maksimal layaknya memberi 'cek kosong' kepada pemerintah. Hal ini berpotensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan untuk memperbesar rasio pinjaman negara, khususnya pinjaman yang berasal dari luar negeri.
"Sama saja dengan memberikan ‘cek kosong’ bagi pemerintah untuk melakukan akrobat dalam penyusunan APBN setidaknya sampai dengan tiga tahun ke depan atau tahun anggaran 2022," tutur dia.
Dengan demikian, pemohon menilai, bunyi Pasal 2 Ayat (1) huruf a Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 23 Ayat (2) dan (3) UUD 1945. Pasal dalam UUD itu mengatur bahwa APBN harus disetujui DPR dengan berbagai pertimbangan.
Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu tersebut diterbitkan pada akhir Maret 2020 di tengah pandemi Covid-19.
Hari ini, MK telah menggelar sidang pendahuluan tiga permohonan uji materi Perppu Covid-19. Pertama, permohonan diajukan sejumlah pemohon perseorangan, diantaranya Din Syamsuddin, Amien Rais, Sri Edi Swasono, dkk dengan Nomor 23/PUU-XVIII/2020.
Kedua, permohonan Nomor 24/PUU-XVIII/2020 diajukan sejumlah organisasi masyarakat, yakni Perkumpulan Masyarakat Antikorupsi (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, KEMAKI, LP3HI, dan PEKA). Kemudian MK menerima permohonan dari Damai Hari Lubis yang langsung diregistrasi dengan Nomor 25/PUU-XVIII/2020.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengaku sudah menduga kuat Perppu 1/2020 akan ditentang. Karena itu, pemerintah sudah siap menghadapi langkah yang diambil pihak lain terhadap Perppu tersebut.
"Sejak awal kita memang sudah menduga kuat bahwa Perppu Nomor 1/2020 itu akan di-challenge, akan ditentang. Di DPR pasti akan dipersoalkan secarap politik, di masyarakat pasti akan dibawa ke MK karena memang di dalam sejarahnya tidak pernah ada Perppu yang tidak ditentang," ujar Mahfud melalui video singkatnya, Rabu (22/4).
Karena itu, kata dia, jika sekarang muncul wacana penentangan atas Perppu terkait Covid-19 itu di DPR dan pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), maka pemerintah sudah siap menghadapinya. Menurut Mahfud, pemerintah tidak kaget akan langkah-langkah tersebut.
"Kita gembira bahwa ada yang merespons dan kita sudah sejak awal sejak sebelum itu ada, kita sudah siapkan itu semua. Ndak ada masalah, jalan saja. Di DPR silakan jalan dibahas, di MK nanti kita ketemu membahasnya," jelas dia.