Jumat 24 Apr 2020 13:40 WIB

Akademisi Jangan Hanya Tolak RUU Ciptaker, Tawarkan Solusi

Para akademisi bisa memberikan kontribusi nyata berupa tawaran gagasan.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Kontroversi omnibus law RUU Ciptaker (Ilustrasi)
Foto: Republika
Kontroversi omnibus law RUU Ciptaker (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya menyayangkan penolakan sejumlah akademisi terhadap Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Ia mendorong agar para akademisi jangan hanya menolak, tetapi juga memberikan solusi yang tepat terhadap persoalan tumpah tindihnya regulasi. 

"Kalau mereka memang menolak RUU Ciptaker, apa tawaran mereka dalam upaya melakukan penyederhanaan perizinan dan iklim investasi yang sehat? Jangan cuma minta dan mendesak saja, apa tawarannya kalau bukan omnibus law?," kata Willy kepada wartawan, Jumat (24/4).

Baca Juga

Lagipula, imbuhnya, rancangan undang-undang yang masuk prolegnas belum tentu langsung disahkan. Semuanya masih harus dibahas dalam pembahasan. 

"Kalau cuma minta cabut atau menolak saja, aktivis semester satu juga bisa. Tapi kalau levelnya sudah akademisi ya jangan begitulah," ujar Willy.

Ia berharap para akademisi bisa memberikan kontribusi nyata berupa tawaran gagasan untuk masalah dan tantangan-tantangan seperti ruwet dan parasitnya birokrasi perizinan, jawaban terhadap krisis ekonomi global, serta apa yang bisa ditawarkan untuk menghadapi bonus demografi yang sudah mulai dirasakan mulai tahun 2020 ini.

Sebelumnya sebanyak 92 akademisi lintas keilmuan menandatangani sebuah petisi yang berisi pernyataan sikap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker). Sembilan puluh dua akademisi, yang telah menandatangani petisi yag telah disebar sejak Maret 2020 hingga April 2020 terdiri dari 3 profesor, 2 guru besar, 30 doktor, 57 magister, dan 2 Sarjana.

Dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, para akademisi sepakat bahwa omnibus law RUU Ciptaker memunculkan sejumlah persoalan di berbagai sektor. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti mengingatkan bahwa keterbukaan menjadi salah satu asas di dalam pembentukan perundang-undangan. 

Undang-undang juga mengatakan bahwa masyarakat berhak menyampaikan aspirasi dalam proses pembentukan sebuah undang-undang. "Kalau DPR kemudian bersikukuh bersama-sama dengan pemerintah bersikukuh untuk membahas (RUU Ciptaker), maka telah terjadi amputasi terhadap demokrasi," tegasnya.

Penolakan terhadap RUU Cipta Kerja juga disuarakan Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalas, Yonariza. Yonariza menilai RUU Cipta Kerja memiliki karakter kapitalisme dan neoliberal yang hanya ingin mengejar pertumbuhan ekonomi namun mengorbankan kesejahteraan rakyat, serta tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan.

"Karakter tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945", ungkapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement