Selasa 14 Apr 2020 15:16 WIB

Agar tak Mudik, Pemerintah Harus Sediakan Kompensasi Ini

Pemerintah bisa menyediakan kompensasi bahan pokok atau voucher telekomunikasi.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Friska Yolandha
Penumpang bus melewati bilik disinfektan dan mencuci tangan saat turun di Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah, Rabu (1/4). Hingga saat ini, pemerintah masih mengimbau masyarakat agar tidak melakukan mudik padahal sudah memasuki status darurat virus korona atau Covid-19. Ketua Umum Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono mengatakan selain regulasi mengikat larangan mudik, pemerintah harus menyediakan kompensasi.
Foto: ANTARA/Mohammad Ayudha
Penumpang bus melewati bilik disinfektan dan mencuci tangan saat turun di Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah, Rabu (1/4). Hingga saat ini, pemerintah masih mengimbau masyarakat agar tidak melakukan mudik padahal sudah memasuki status darurat virus korona atau Covid-19. Ketua Umum Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono mengatakan selain regulasi mengikat larangan mudik, pemerintah harus menyediakan kompensasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga saat ini, pemerintah masih mengimbau masyarakat agar tidak melakukan mudik padahal sudah memasuki status darurat virus korona atau Covid-19. Ketua Umum Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono mengatakan selain regulasi mengikat larangan mudik, pemerintah harus menyediakan kompensasi. 

Agus mengatakan masyarakat yang berpotensi ingin melakukan mudik karena tidak memiliki pendapatan lagi jika tetap berada di Jakarta dan sekitarnya. "Menghadapi yang tidak ada pemasukan lagi hodup di Jakarta tentu bantuan langsung tunai (BLT) dan bahan pokok," kata Agus dam video konferensi, Selasa (14/4). 

Baca Juga

Selain itu, bagi yang masih bersikeras melakukan mudik, Agus menyarankan pemerintah juga harus menyediakan kompensasi voucher komunikasi. Dengan betitu, masyarakat dapat memanfaatkan komunikasi jarak jauh meski tidak melakukan mudik. 

"Itu (voucher komunikasi) lebih mudah dilakukan karena bisa dideteksi oleh teknologi, siapa saja orang yang ingin mudik dari nomor hpnya," tutur Agus. 

Agus juga menegaskan, masyarakat di Jabodetabek juga perlu mengetahui bagaimana kondisi di kampung halamannya. Sebab menurutnya beberapa kampung di wilayah provinsi lain banyak yang sudah kompak menolak para pemudik datang. 

"Walaupun mudik dan itu menjadi dilarang tapi karena ada sifat sosiatri yang tinggi ya diterima saja. Persoalannya adalah, dia akan menjadi orang dalam pantauan (ODP)," ungkap Agus. 

Hal tersebut pada akhirnya juga akan menimbulkan beban tambahan bagi pemerintah daerah. Agus mengatakan pemerintah daerah juga harus menyiapkan lokasi untuk menampung para pemudik yang datang ke kampung halaman karena harus menjalani karantina 14 hari. 

Belum lagi, Agus menuturkan dengan adanya pemudik ke kampung halaman berpotensi menimbulkan konflik sosial. "Sekalipun keluarga itu kan penolakan, walaupun dikarantina tetap akan muncul konflik rasa hati, penolakan warga setempat," tutur Agus. 

Hal tersebut menurutnya dapat diperparah karena adanya keterbatasan pelayanan perawatan korban Covid-19 di wilayah tujuan mudik. Dia mengatakan banyak kasus menunjukan RSUD dan puskemas di daerah melum memadai peralatan dam petugas medisnya dalm menangani Covid-19. 

Sebelumnya, Agus mengungkapkan saat ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat sebanyak 900 ribu orang sudah melakukan mudik. Saat ini tersisa 2,6 juta orang yang belum melaksanakan mudik. 

Hanya saja, Agus mengatakan sekitar separuhnya saja dari 2,6 juta orang tersebut yang berpotensi untuk mudik karena aparatur negara hingga PNS dilarang melakukan gal tersebut. "Jadi saat ini ada 1,3 juta orang yang dianggap masih ada potensi ingin mudik," kata Agus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement