Kamis 02 Apr 2020 18:49 WIB

ICW: Menkumham tak Berpihak pada Pemberantasan Korupsi

ICW dan YLBHI tolak rencana Menkumham percepat pembebasan napi korupsi.

Rep: Dian Fath Risalah / Red: Bayu Hermawan
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Donal Fariz
Foto: Republika/Riza Wahyu Pratama
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Donal Fariz

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai tak setuju dengan usulan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly, yang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 90 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakat. Revisi itu dilakukan untuk mempercepat pembebasan 300 narapidana korupsi dengan tujuan untuk mencegah pandemi virus corona (Covid-19).

ICW dan YLBHI mencatat wacana Yasonna ini bukan hal yang baru dan menilai merupakan 'akal-akalan' Yasonna untuk membebaskan narapidana koruptor. Dalam catatan ICW setidaknya untuk kurun waktu 2015-2019 Yasonna Laoly telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. "Mulai dari tahun 2015, 2016, 2017, dan pada tahun 2019 melalui Revisi UU Pemasyarakatan. Isu yang dibawa selalu sama, yakni ingin mempermudah pelaku korupsi ketika menjalani masa hukuman," kata peneliti ICW Donal Fariz di Jakarta, Kamis (2/4).

Baca Juga

Donal melanjutkan, padahal PP 99/2012 diyakini banyak pihak sebagai aturan yang progresif untuk memaksimalkan pemberian efek jera bagi pelaku korupsi. Hal itu mulai dari penghapusan syarat justice collaborator hingga meniadakan rekomendasi penegak hukum terkait. 

"Sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap dari Menteri Hukum dan HAM selama ini tidak pernah berpihak pada aspek pemberantasan korupsi," ujarnya.

Data ICW menunjukkan rata-rata vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bagi pelaku korupsi hanya menyentuh angka 2 tahun  5 bulan penjara. Belum lagi ditambah dengan situasi maraknya praktik korupsi di lembaga pemasyarakatan. Jika kebijakan ini teralisasi maka ke depan pelaku korupsi tidak akan lagi jera untuk melakukan kejahatan tersebut.

Donal melanjutkan, berdasarkan data Kemenkumham pada 2018 menyebutkan bahwa jumlah narapidana seluruh Indonesia mencapai 248.690 orang dan 4.552 orang diantaranya adalah narapidana korupsi. "Artinya narapidana korupsi hanya 1.8 persen dari total narapidana yang ada di lembaga pemasyarakatan. Sehingga akan lebih baik jika pemerintah fokus pada narapidana kejahatan seperti narkoba atau tindak pidana umum lainnya yang memang secara kuantitas jauh lebih banyak dibanding korupsi," katanya lagi.

Sehingga, menurutnya tidak ada kaitannya pembebasan napi korupsi sebagai pencegahan Corona. Hal ini disebabkan karena Lapas Sukamiskin justru memberikan keistimewaan satu ruang sel diisi oleh satu narapidana kasus korupsi. "Justru ini bentuk social distancing yang diterapkan agar mencegah penularan," tegasnya.

Sementara Ketua Bidang Advokasi YLBHI M Isnur menilai, wacana ini bukanlah kontroversi pertama dilakukan Yasonna sebagai sebagai Menkumham. Menurut Isnur niat Menteri Hukum dan HAM untuk mempermudah narapidana korupsi terbebas dari masa hukuman semakin akan menjauhkan efek jera.

Ia  menegaskan bahwa kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan bentuk kejahatan lainnya. Selain telah merugikan keuangan negara, korupsi juga merusak sistem demokrasi, bahkan dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

"Untuk itu, mempermudah narapidana korupsi untuk terbebas dari masa hukuman bukan merupakan keputusan yang tepat," ujarnya.

Oleh karenanya,ICW dan YLBHI mendesak agar Presiden Joko Widodo menolak wacana Yasonna untuk menolak revisi  PP 99/2012 karena tidak ada relevansinya dengan pencegahan penularan Covid-19. Selai itu, ICW dan YLBHI juga meminta Presiden Jokowi menghentikan pembahasan  sejumlah rancangan peraturan perundang-undangan yang kontroversial saat bencana nasional COvid-19 sedang berlangsung.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement