REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Dessy Suciati Saputri, Febrianto Adi Saputro, Rizkyan Adiyudha, Antara
Presiden Joko Widodo mengumumkan enam program jaring pengaman sosial sebagai upaya menekan dampak wabah Covid-19 di kalangan masyarakat. Presiden Joko Widodo dalam keterangan pers secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (31/3), mengatakan Presiden fokus pada penyiapan bantuan pada masyarakat lapis bawah.
Enam program jaring pengaman sosial dibuat dalam upaya menekan dampak Covid-19. “Pertama, PKH jumlah penerima dari 9,2 juta jadi 10 juta keluarga penerima manfaat, besaran manfaatnya dinaikkan 25 persen. Misalnya ibu hamil naik dari Rp 2,4 juta menjadi Rp 3 juta per tahun, komponen anak usia dini Rp 3 juta per tahun, disabilitas Rp 2,4 juta per tahun dan kebijakan ini efektif April 2020,” kata Presiden.
Kebijakan kedua, soal kartu sembako. Jumlah penerimanya akan dinaikkan menjadi 20 juta penerima manfaat dan nilainya naik 30 persen dari Rp 150 ribu menjadi Rp 200 ribu dan akan diberikan selama sembilan bulan.
Program ketiga adalah kartu prakerja. Anggaran kartu prakerja dinaikkan dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun.
“Jumlah penerima manfaat menjadi 5,6 juta orang. Terutama ini untuk pekerja informal dan pelaku usaha mikro dan kecil yang terdampak Covid-19 dan nilai manfaatnya adalah Rp 650 ribu sampai Rp 1 juta per bulan selama empat bulan ke depan,” katanya.
Selanjutnya, keempat, terkait tarif listrik untuk pelanggan listrik 450 Va yang jumlahnya sekitar 24 juta pelanggan akan digratiskan selama tiga bulan ke depan. Yaitu April, Mei, dan Juni 2020.
Sementara untuk pelanggan 900 Va yang jumlahnya sekitar 7 juta pelanggan akan didiskon 50 persen. Mereka hanya membayar separuh untuk April, Mei, dan Juni 2020.
Kelima, untuk mengantisipasi kebutuhan pokok, pemerintah mencadangkan Rp 25 triliun untuk operasi pasar dan logistik. Keenam, keringanan pembayaran kredit bagi para pekerja informal, baik ojek daring, sopir taksi, UMKM, nelayan, dengan penghasilan harian dan kredit di bawah Rp 10 miliar.
“OJK telah menerbitkan aturan mengenai hal tersebut dan mulai berlaku April ini. Telah ditetapkan tidak perlu datang ke bank atau perusahaan leasing, cukup melalui email atau media komunikasi digital, seperti WA, saya rasa itu,” katanya.
Pemerintah telah mengambil opsi memberlakukan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB terkait wabah corona. Presiden Joko Widodo mengatakan, keputusan ini dilakukan dengan mempertimbangan berbagai hal, seperti luas wilayah, jumlah penduduk, kedisiplinan, kondisi geografis, karakter dan budaya, peekonomian masyarakat, serta kemampuan fiskal negara.
Pemerintah tidak bisa meniru kebijakan yang diambil oleh negara lainnya. “Kita harus belajar dari pengalaman dari negara lain tapi kita tidak bisa menirunya begitu saja sebab semua negara memiliki ciri khas masing-masing. Baik itu luas wilayah, jumlah penduduk, kedisiplinan, kondisi geografis, karakter dan budaya, perekonomian masyarakatnya, kemampuan fiskalnya, dll,” jelas Joko Widodo (Jokowi).
Pemerintah tidak boleh gegabah dalam mengambil kebijakan. Strategi pun harus dipersiapkan dan dikalkulasikan dengan cermat. Jokowi menegaskan, kesehatan masyarakat menjadi prioritas utama bagi pemerintah.
“Oleh sebab itu, kendalikan penyebaran Covid-19 dan obati pasien yang terpapar,” kata dia.
Karena itu pemerintah menyiapkan jaring pengaman sosial untuk masyarakat lapisan bawah agar tetap mampu memenuhi kebutuhan pokok dan menjaga daya beli. Presiden juga berjanji akan menjaga dunia usaha, utamanya UMKM agar tetap mampu beroperasi dan menjaga penyerapan tenaga kerjanya.
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat meminta pemerintah segera merealisasikan seluruh insentif maupun stimulus yang telah dipersiapkan bagi masyarakat terdampak. "Masyarakat terdampak dalam hal ini adalah bukan hanya mereka yang terpapar virus Corona, tetapi juga mereka yang kehilangan mata pencaharian maupun mengalami penurunan pendapatan sebagai akibat dari pembatasan sosial berskala besar yang akan diberlakukan pemerintah," kata Lestari dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/3).
Selain itu, Lestari menambahkan, dalam hal pemberian insentif, pemerintah juga perlu menentukan skema pemberian insentif termasuk aturan pelaksanaannya. Dengan demikian, kebijakan bantuan tidak menimbulkan permasalahan baru.
"Meminta pemerintah untuk meningkatkan dukungan pembiayaan untuk penanggulangan wabah Covid-19 melalui relokasi anggaran dalam APBN 2020. Sebelumnya Fraksi Partai Nasdem mengusulkan 15 persen dari APBN direlokasi untuk mengatasi wabah ini," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI Amir Uskara mengimbau kepada pemerintah untuk segera mengambil langkah taktis guna meredam dampak negatif pandemi virus Covid-19. Salah satunya dengan menambah paket stimulus yang dialokasikan langsung ke sektor kesehatan dan sektor ekonomi.
"Pada bidang kesehatan stimulus bisa diberikan berupa tunjangan kepada tenaga medis yang pada hari ini sedang berada di garis terdepan melawan virus Covid-19, sedangkan pada bidang sosial pemerintah bisa memberikan tunjangan kepada masyarakat yang memiliki pendapatan harian, bantuan secara langsung kepada masyarakat baik dalam berupa uang tunai, sembako dan atau vitamin guna meningkatkan daya tahan masyarakat, serta memberikan diskon pembayaran listik dan air," jelasnya.
Ketua Fraksi PPP itu lebih lanjut menjelaskan, stimulus di bidang kesehatan maupun ekonomi tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber. Misalnya melakukan realokasi anggaran APBN 2020. Sementara pos-pos yang belum mendesak, dan tidak terlalu penting sebaiknya dialihkan.
"DPR tentu memfasilitasi APBN-P 2020 agar proses perubahan pos anggaran dilakukan secara transparan, dan mempertimbangkan berbagai faktor seperti perubahan asumsi makro, penurunan penerimaan perpajakan, dan pos belanja yang rentan berpengaruh pada keberlanjutan fiskal di daerah." tuturnya.
Upaya pemerintah menerapkan PSBB namun dipandang Pakar Hukum Tata Negara Abdul Fickar Hadjar sebagai keputusan keliru. Dia mengatakan, pemerintah seharusnya menggunakan dasar hukum soal kebencanaan dan karantina kesehatan guna memerangi virus tersebut.
"Ada jalan pikiran yang tidak logis, darurat wabah kok dihadapi dengan darurat sipil yang lebih merupakan pendekatan politis," kata Abdul Fickar Hadjar di Jakarta, Selasa (31/3).
Menurutnya, pemerintah seharusnya berpaku pada UU Nomor 24 tahun 2007 tentang bencana dan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang karantina kesehatan. Namun penerapan kebijakan karantina mengharuskan pemerintah membiayai seluruh masyarakat terdampak.
Abdul menduga, langkah tersebut tidak diambil pemerintah karena mereka tak berani menanggung risiko membiayai masyarakat. Padahal, dia mengatakan, dana tersebut tentu tidak akan lebih besar dibanding dana yang dihabiskan untuk proyek-proyek ambisius seperti pemindahan ibu kota.
"Ini betul-betul melawan akal sehat," katanya.
Secara khusus dia kemudian memaparkan pasal-pasal yang ada dalam darurat sipil dan karantina wilayah. Abdul menyinggung pasal 18 hingga 21 yang memberikan kekuasaan selama dalam status kepada penguasa darurat sipil. Termasuk saat mengadakan pertemuan-pertemuan, akses terhadap gedung-gedung, hak warga berada di luar rumah, tata cara berpakaian hingga aparatur pemerintahan. Kepolisian dan semua badan-badan pencegah bahaya berada di bawah perintah Penguasa Darurat Sipil.
Sedangkan karantina wilayah berdasar UU nomor 6 tahun 2018 Pasal 55 menyebutkan bahwa kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sementara tanggung jawab penyelenggaraan karantina wilayah sebagaimana dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait.
Abdul mengatakan, melihat hal tersebut tampak strategi dan paradigma berpikir serta apa yang dihindari dan apa yang dipertahankan. Dia menilai, pemerintah saat ini lebih menentingkan ekonomi dan investasi ketimbang keselamatan rakyatnya.
"Padahal keselamatan rakyat itu konstitusi tertinggi sebuah negara," katanya.