Rabu 11 Mar 2020 09:46 WIB

Tak Diminati Pemulung, Sampah Saset Diprediksi Membeludak

Sampah plastik jenis saset akan menumpuk pada 2027 jika tak segera diatasi.

Pemulung mengangkut sampah plastik untuk dijual kembali ke pengepul di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Rabu (19/2).(Republika/Abdan Syakura)
Foto: Republika/Abdan Syakura
Pemulung mengangkut sampah plastik untuk dijual kembali ke pengepul di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Rabu (19/2).(Republika/Abdan Syakura)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepraktisan kemasan saset bagi produk keseharian sering kali membuat orang lupa diri. Masyarakat tidak pernah terpikir betapa kemasan yang sekali pakai lalu buang itu bakal mendatangkan ancaman lain yang tak sebanding dengan kepraktisan yang ditawarkannya.

Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Pris Polly Lengkong mengatakan, saset kurang berharga bagi pemulung karena belum ada pihak yang berniat mendirikan pabrik atau industri daur ulang untuk sampah saset atau kemasan multilayer. IPI memprediksi sampah plastik jenis saset akan menumpuk pada 2027 jika tak segera diatasi.

Baca Juga

Sri Bebassari, salah seorang pegiat lingkungan, menyatakan setiap tahunnya 17 miliar kemasan produk mi instan diproduksi. Hal ini menjadi pekerjaan rumah sangat berat, bagaimana agar setelah produk tersebut dikonsumsi, 17 miliar sampah kemasannya tidak terbuang sampai ke laut.

Sri menegaskan, di sinilah produsen harus bertanggung jawab atas semua sampah dari kemasan produknya. “Mengacu pada Pasal 15 Undang-Undang nomor 18 tentang Pengelolaan Sampah, produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan dari produk yang mereka buat,” kata Ketua Indonesia Solid Waste Association (Inswa) itu.

Karena itu, Sri menyatakan industri harus memiliki program tentang apa yang akan mereka lakukan terhadap kemasan setelah selesai pakai.

“Apa pun program bisa dibuat. Mau diganti kemasannya dengan kemasan yang mudah terurai, mau pakai cara guna ulang, atau mau dibuat program daur ulang, silakan ajukan proposalnya,” ujar Sri.

Ia menegaskan, Kementerian Perindustrian juga harus menjadi pihak terdepan yang mengawal program tanggung jawab produsen atas sampah yang mereka hasilkan dari produk yang dibuat.

“Persyaratan pembuatan program after consumer harus menjadi salah satu poin persyaratan utama pada saat pemberian izin produksi kepada produsen. Kemenperin harus jaga ini supaya industri ikut berpikir. Jangan industri cuma bisa buat produknya, lalu persoalan sampahnya orang lain yang harus mikir. Tidak bisa seperti itu. Produsen harus bertanggung jawab,” kata Sri yang sudah meneliti tentang persampahan sejak tahun 1980 ini.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) Justin Wiganda mendorong produsen mengurangi penggunaan kemasan saset untuk produknya. “Karena produsen harus memikirkan penanganan dari sampah kemasan produk setelah konsumsi. Sementara, sampah jenis saset atau plastik multilayer ini nilai ekonomisnya sangat rendah. Minat pemulung untuk memulung sampah saset sangat kecil dan kebutuhan industri daur ulang terhadap sampah kemasan saset juga sangat rendah,” kata Justin, Senin (9/3).

Ia mengatakan, dengan tidak diminatinya sampah saset oleh pemulung, potensi sampah saset untuk terbuang ke sungai dan menuju ke laut sangat besar. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena tumpukan sampah saset di laut akan sangat berbahaya bagi binatang yang hidup di laut. Sampah tersebut juga bisa mencemari lingkungan.

Justin menyatakan produsen bisa menjadi pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas sampah kemasan saset, yang walaupun bentuknya kecil, jumlahnya sangat banyak. Berdasarkan laporan terbaru Greenpeace berjudul "Throwing Away The Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution Solutions", sebanyak 855 miliar saset terjual di pasar global pada tahun ini.

Dari angka itu, wilayah Asia Tenggara memegang pangsa pasar sekitar 50 persen. Jumlah kemasan saset yang terjual diprediksi akan mencapai 1,3 triliun pada 2027. Dengan jumlah tersebut, bila tidak ditangani dengan baik, sampah saset berpotensi menjadi sampah yang sangat mencemari lingkungan.

Ia menambahkan, saat ini produsen biji plastik sudah berinisiatif menggunakan teknologi untuk membuat single material guna menggantikan kemasan multimaterial. “Bentuknya tetap multilayer, tetapi menggunakan single material. Ini bertujuan sebagai pengganti saset,” ujar Justin.

Sampai saat ini proses pembuatan kemasan single material terus dilakukan sambil berkoordinasi dengan banyak stakeholder.

“Karena harus dipastikan juga apakah produk tersebut cocok dengan spec-nya dan juga apakah bisa berfungsi menahan makanan seperti produk sebelumnya. Tentu ini butuh proses cukup panjang untuk kemudian bisa diaplikasikan,” kata Justin.

Kemasan Multilayer

Justin pun kemudian menyarankan kepada produsen pengguna kemasan multilayer bahwa solusi terbaik untuk penanganan sampah multilayer atau saset adalah betul-betul mengurangi penggunaannya. Pengurangan kemasan saset di satu sisi, kata Justin, harus diiringi dengan peningkatan daya beli masyarakat.

“Mengapa di negara maju penggunaan saset rendah karena daya beli masyarakat juga tinggi. Jadi, harus berjalan seiring antara program pemerintah meningkatkan daya beli masyarakat dengan pengurangan penggunaan kemasan saset produk konsumsi,” ujar Justin.

Ia menambahkan, pemerintah harus memberi perhatian terhadap penanganan sampah saset karena bila terus-menerus dibiarkan tanpa solusi, persoalan sampah kemasan saset akan menjadi problem besar.

Pasalnya, lapisan plastik multilayer tidak bisa terurai. Selain itu, kebutuhan industri daur ulang terhadap kemasan saset masih sangat rendah.

“Kita tidak punya data yang pasti, tetapi bisa dibilang angkanya kurang dari 1 persen," kata Justin.

Ia menyatakan, sejauh ini baru ada anggotanya di wilayah Surabaya yang sudah melakukan daur ulang kemasan multilayer.

“Di sana sampah multilayer dibuat produk tali rafia, gantungan baju, dan ember cor. Tetapi, industri yang khusus menampung sampah multilayer ini masih sangat kecil. Sementara, potensi sampah yang dihasilkan dari kemasan multilayer sangat besar, jadinya menjadi sangat tidak signifikan,” kata Justin.

Senada dengan Justin, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, mengatakan, pada 2030 saset sudah harus jadi monolayer. Ia pun mendorong produsen berinvestasi dalam penggunaan daur ulang.

“Karena plastik multilayer itu sulit didaur ulang. Inisiatif penggunaan kemasan daur ulang selama ini baru datang dari masyarakat, bukan dari produsen. Yang perlu dilakukan produsen adalah bagaimana skem dan bisnis ini perlu dilakukan,” kata Atha.

Menurut Atha, perilaku konsumsi masyarakat dibentuk oleh industri. “Produsen selalu beralasan mereka memproduksi kemasan saset karena daya beli konsumen adalah saset,” kata Atha.

Sementara itu, sampah saset atau plastik multilayer nilai ekonomisnya sangat rendah. Akibatnya, pemulung cenderung mengabaikan sampah jenis ini dan hanya memungut plastik jenis PET karena dapat dijual kembali dengan harga tinggi untuk industri daur ulang.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement