Rabu 11 Mar 2020 07:27 WIB

Kejakgung: Kasus Jiwasraya Berbeda dengan Karen Agustiawan

Kejakgung menegaskan kasus Jiwasraya berbeda dengan perkara Karen Agustiawan.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah mengatakan kasus Jiwasraya berbeda dengan perkara Karen Agustiawan (foto:ilustrasi)
Foto: Bambang Noroyono
Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah mengatakan kasus Jiwasraya berbeda dengan perkara Karen Agustiawan (foto:ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) mengakui ada kemiripan antara penyidikan dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya dengan perkara Karen Agustiawan. Namun, Direktur Penyidikan Direktorat Pidana Khusus (Dirpidsus) di Kejakgung Febrie Adriansyah mengatakan, kasus Jiwasraya, bukan sekadar risiko bisnis seperti yang terjadi dalam kasus Karen di Pertamina.

"Sebenarnya hampir sama (kasus Karen, dan Jiwasraya)," kata Febrie, Selasa (10/3). 

Baca Juga

Akan tetapi, Febrie menjelaskan meski ada kemiripan namun bukan berarti dua kasus tersebut berangkat dari konstruksi peristiwa hukum yang serupa. Meskipun, kata Febrie, tampak selintas dua kasus tersebut, berdimensi risiko bisnis yang dialami perusahaan milik negara atau BUMN.

Ia menjelaskan, dalam kasus Jiwasraya, penyidikan menemukan kegiatan transaksi yang sengaja merugikan perusahaan asuransi milik negara itu, dengan cara masif dan terus menerus. Begitu juga dalam rentang waktu yang panjang selama satu dasawarsa, sejak 2008 sampai 2018. 

"Cuma risiko bisnis itu, dilakukan berulang-ulang. Masa rugi terus bisnis Jiwasraya. Bukan risiko bisnis itu kalau (merugi) berkali-kali," ujarnya.

Dasar pikir itu, yang membuat Febrie, bersama 64 penyidik gabungan di Dirpidsus Kejakgung meyakini, adanya skema 'perampokan' uang Jiwasraya yang dilakukan dengan cara sengaja dan sistematis. Yang ujungnya, mengutip audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 16,81 triliun. 

"Pembobolan itu. Ya kan, berkali-kali (merugi). Itu bukan risiko bisnis," ucapnya. 

Ia melanjutkan, dalam satu peristiwa hukum yang berujung pada risiko bisnis, ada patokannya. Febrie mengacu pada penjelasan kasasi Mahkamah Agung (MA) terkait pembebasan Karen dalam dugaan korupsi di Pertamina. Yaitu dengan menebalkan prinsip Bussines Judgment Rule (BJR). 

Istilah yang mampu memberikan imunitas bagi direksi dan pejabat perusahaan negara dalam setiap pengambilan kebijakan yang berujung risiko merugi. "Kalau patokannya BJR, itu melakukannya sudah dengan prinsip kehati-hatian, ketaatan pada prosedural, dan tidak melawan hukum. Ketika melakukan transaksi, dia rugi. Itu (bisa dikatakan) risiko bisnis," jelasnya.

Namun, Febrie mengungkapkan, dalam penyidikan Jiwasraya, terungkap pengambilan kebijakan investasi yang mengabaikan prinsip kehati-hatian.  Penyebab utama BUMN asuransi itu mengalami kerugian masif dan berulang-ulang selama 10 tahun. Selain itu, dalam transaksi investasi Jiwasraya, terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum. 

"Audit akhir tahun, ditutupi dengan reksadana supaya nggak ketahuan merugi. Masa itu risiko bisnis," katanya. 

Karena itu, Febrie mengatakan, penguatan dalam penyidikan Jiwasraya selama ini, memastikan penemuan alat bukti yang kuat untuk diajukan ke persidangan sebagai dasar meyakinkan pengadilan tentang terjadinya perbuatan 'perampokan' negara, dan aksi melawan hukum yang dilakukan oleh para tersangka. Sementara ini, Kejakgung sudah menetapkan enam tersangka dalam penyidikan Jiwasraya.

Yakni tiga orang pengusaha, Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, dan Joko Hartono Tirto. Tiga lainnya, para mantan bos Jiwasraya, Hendrisman Rahim, Harry Prasetyo, dan Syahmirwan. Keenam tersangka itu, diyakini Kejakgung menjadi orang yang paling bertanggung jawab membuat Jiwasraya mengalami  kondisi gagal bayar klaim asuransi nasabah senilai Rp 13,7 triliun per September 2018. Audit investigasi pendahuluan BPK, Januari 2020, pun menyebutkan Jiwasraya mengalami defisit pencadangan keuangan sebesar Rp 27,2 triliun.

Hasil audit, BPK pun menunjukan terjadinya ragam penyimpangan dalam pengelolaan Jiwasraya. Seperti manipulasi akutansi untuk mencatatkan laba fiktif sejak 2006. Serta pengalihan dana penjualan produk asuransi JS Saving Plan ke dalam banyak saham emiten, dan reksadana yang berkualitas buruk. BPK juga menyebutkan, terjadinya dugaan praktik memperkaya diri sendiri yang dilakukan pejabat tinggi di Jiwasraya, dalam penjualan dan pengalihan dana penjulan produk asuransi JS Saving Plan.  

Audit BPK itu yang menjadi salah satu basis penyidikan di Kejakgung. Kejakgung menjerat keenam tersangka dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3, juncto Pasal 18 UU Tipikor 20/2001. Khusus tersangka Benny dan Heru, Kejakgung juga menebalkan sangkaan Pasal 3, 4, atau 5, UU TPPU 8/2010. Kejakgung menuding Benny dan Heru, dua pengusaha dari perusahaan swasta yang paling banyak menikmati pengalihan dana asuransi Jiwasraya. Lalu keduanya, dituding melakukan pencucian uang dari hasil kejahatan di Jiwasraya.

Sangkaan pertama keenam tersangka Jiwasraya itu, sama seperti dakwaan yang dialamatkan Kejakgung saat menyeret Karen ke pengadilan terkait kasus Pertamina. Konstruksi peristiwanya, pun mirip. Kasus Karen, berawal dari penyidikan Kejakgung pada 2018 tentang dugaan praktik korupsi yang terjadi di Pertamina pada 2009. Karen yang saat itu menjadi Dirut Pertamina, diminta bertanggungjawab atas kerugian negara senilai Rp 568 miliar buntut dari keputusan Pertamina yang melakukan investasi pada blok eksplorasi minyak dan gas Basker Manta Gummy (BMG) di Australia.

Seperti diketahui, Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Jakarta 2019, memvonis Karen bersalah dengan hukuman delapan tahun penjara. Upaya banding di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, pun menguatkan putusan peradilan tingkat pertama. Namun pada Senin (9/3) 2020, Mahkamah Agung (MA) memutuskan kasasi terhadap Karen dengan melepaskannya dari segala dakwaan, dan pemidanaan. 

MA dalam putusannya menilai, perbuatan Karen tak dapat dikatakan sebagai perbuatan korupsi seperti yang dituduhkan dalam dakwaan. Meskipun, MA dalam kasasinya, menegaskan perbuatan yang dilakukan Karen dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), benar terjadi. 

"Menyatakan terdakwa Karen Agustiawan terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan penuntut umum. Tetapi, perbuatan terdakwa itu, bukan merupakan suatu tindak pidana," begitu petikan pertama putusan kasasi MA, Senin (9/3). 

Putusan MA itu, pun memerintahkan agar Karen dilepaskan dari semua tuntutan dan pemindanaan.  Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, Senin (9/3) menerangkan, dalam putusan kasasi tersebut, Majelis MA yang diketahui Hakim Suhadi mempertimbangkan prinsip-prinsip BJR dan independensi dalam pengelolaan perusahaan. 

"Menurut Majelis Hakim, keputusan direksi dalam aktivitas perseroan, tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Walaupun keputusan tersebut, akhirnya menimbulkan kerugian bagi perseroran. Tetapi, itu merupakan risiko bisnis, dan bukan perbuatan pidana," terang Andi. 

Atas putusan kasasi MA tersebut, pada Selasa (10/3), Kejakgung diwajibkan melepaskan Karen yang sejak Juni 2018, berada dalam Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur (Jaktim). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement