REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fuji E Permana, Umar Mukhtar, Ali Mansur, Antara
Kekerasan terhadap kaum Muslim India menarik perhatian hingga ke Tanah Air. Sayangnya apa yang terjadi di India belum cukup banyak disuarakan oleh pemimpin-pemimpin negara Muslim dunia.
Ketua Pelaksana Al-Quds Foundation Malaysia, Dr Syarif Amin Abu Sammala, mengatakan kejahatan yang terjadi di India adalah tindakan kriminal, rasisme dan penodaan terhadap hak asasi manusia (HAM). Sayangnya kejahatan di India ini belum mendapat kecaman yang setimpal.
"Yang melakukan kecaman seharusnya tidak hanya masyarakat tapi juga para pemimpin khususnya pemimpin negara-negara Islam," kata Syarif saat diwawancarai Republika di sela-sela Rakornas Ikadi 2020 di Jakarta, Ahad (8/3).
Ia mengingatkan, para pemimpin negara khususnya negara Islam harus segara bekerja untuk menghentikan kejahatan yang terjadi di India. Tapi sayangnya ketika kaum Muslimin menjadi korban kejahatan, biasanya cenderung diabaikan dan tidak menjadi perhatian.
Menurutnya, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) bersama negara-negara Islam lainnya harus melakukan pencegahan terhadap kejahatan di India. Bukan karena umat Islam yang menjadi korban kejahatan sehingga harus dibela, tapi karena mereka adalah manusia.
"Bahkan kita sebagai kaum Muslimin dalam sejarahnya selalu berupaya melindungi minoritas sejak jaman dulu sampai sekarang, seperti saat Muslim menguasai Andalusia, Muslim melindungi kaum minoritas di sana," ujarnya.
Tapi, Syarif prihatin dengan kondisi yang terjadi sekarang. Bila Muslim menjadi minoritas di suatu daerah, maka mereka kerap menjadi korban kekerasan dari mayoritas yang beragama lain. Dia juga mengungkapkan keprihatinannya dengan kondisi Palestina.
Ia mengatakan, sekarang Muslim di Palestina sedang menghadapi fase yang sangat berat setelah ada Deal of The Century. "Tapi Deal of The Century ini pasti akan gagal dengan usaha dari semua kaum Muslimin," ujarnya.
Kekerasan terhadap Muslim di India bermula dari rencana India menerbitkan UU Amandemen Kewarganegaraan. Kantor Kepala Hak Asasi Manusia PBB telah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung India atas isi UU tersebut.
Namun langkah PBB ini mendapat kritikan dari pemerintah India. Dilansir Anadolu Agency, dalam permohonan disebutkan, Komisioner Tinggi berupaya melakukan intervensi sebagai pihak ketiga dalam kasus ini, berdasarkan mandatnya untuk antara lain melindungi dan mempromosikan semua hak asasi manusia dan untuk melakukan advokasi yang diperlukan dalam hal itu, yang didirikan berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB. 48/141, demikian bunyi permohonan.
Permohonan itu juga menunjukkan, India memainkan peran penting membuat hak untuk perlindungan hukum yang setara pada tahun 1949. "Sungguh luar biasa bahwa enam puluh tahun kemudian, masalah ini menjadi inti dari pertimbangan Mahkamah Agung (India) saat memeriksa UU Amendemen Kewarganegaraan. Ini menghadirkan kepada Pengadilan Yang Terhormat suatu peluang bersejarah dan unik untuk memberikan makna praktis pada hak fundamental di tingkat domestik," bunyi permohonan menyimpulkan.
Tindakan amandemen kewarganegaraan yang disahkan oleh parlemen India pada Desember 2019 lalu telah memicu protes dan kerusuhan di negara itu. Undang-undang tersebut berupaya memberikan kewarganegaraan kepada umat Hindu, Sikh, Buddha, Kristen, Jain, dan Parsis, dan meninggalkan para Muslim yang memasuki India dari Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan hingga 31 Desember 2014.
Menanggapi langkah PBB, Kementerian Luar Negeri di India, menyatakan, UU Amandemen Kewarganegaraan adalah persoalan internal. "Kami sangat percaya, tidak ada pihak asing yang memiliki locus standi mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kedaulatan India," kata Juru Bicara Kemenlu India, Ravesh Kumar.
Kumar menambahkan, UU tersebut secara konstitusional sah dan mematuhi semua persyaratan nilai-nilai konstitusional. "Ini mencerminkan komitmen nasional kita yang sudah lama berkenaan dengan masalah hak asasi manusia yang timbul dari tragedi Pemisahan India," tambahnya.
Berbagai negara bagian di India termasuk Bengal, Bihar, Punjab, dan Kerala telah mengeluarkan resolusi melawan hukum. Kerusuhan komunal kekerasan atas hukum juga terjadi di New Delhi pekan lalu, sampai menewaskan 47 orang dan melukai lebih dari 250.
Kekerasan kepada Muslim di India juga sudah menimbulkan gelombang unjuk rasa di Indonesia. Massa di Jakarta, Sukabumi, Medan, Tasikmalaya, dan Ambon menggelar unjuk rasa menuntut keadilan bagi Muslim India.
irektur Eksekutif Indonesia Muslim Crisis Center Robi Sugara menilai Indonesia dapat turut meredakan konflik di India. Hal in mengingat selain memiliki sikap bebas aktif dalam hubungan antar negara, Indonesia juga sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Indonesia disebutnya bisa melakukan pendekatan yang menyerupai bantuan diplomasi India untuk Muslim Rohingya. Upaya Indonesia diharap bisa meminimalisir kekerasan yang dialami Muslim India.
"Apalagi secara politik di kawasan ini kan India juga dijadikan sebagai penyeimbang sebagai kekuatan China di wilayah Asia Pasifik. Pastinya konflik ini sendiri akan merepotkan India untuk berhubungan dengan negara-negara muslin yang ada di Asia, untuk kemudian menyeimbangkan kekuatan China di Asia Pasifik secara politik," tambahnya.
Dubes India untuk Indonesia Pradeep Kumar Rawat menegaskan, India adalah negara manjemuk. Sehingga wajar jika ada pihak-pihak berkompetisi satu sama lain.
"Yang disayangkan kompetisi itu kadang-kadang terjadi gesekan dan itu sebenarnya di luar kewajaran, bukan hanya di India, di Indonesia juga terjadi. Jadi itu inti dari masyarakat majemuk," kata Pradeep, Jumat (6/3).