REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner KPAI, Retno Listyarti mengaku sangat prihatin atas perisiwa pembunuhan yang dilakukan oleh seorang remaja di Sawah Besar, Jakarta Pusat. Remaja tersebut dengan sadar membunuh anak berusia 5 tahun karena terpengaruh film-film horor yang ditontonnya.
"Saya sebagai pribadi dan sebagai komisioner KPAI menyampaikan keprihatinan atas kasus pembunuhan yang dilakukan anak berusia 15 tahun terhadap seorang bocah berusia 5 tahun. Saya juga menyampaikan duka mendalam kepada keluarga korban atas musibah ini," ujar Retno dalam keterangan tertulis, Sabtu (7/3).
Berdasarkan pengakuan pelaku, dirinya terpengaruh dengan film horor Chucky dan Slender Man yang kerap ditontonnya. Hal ini kata Retno membuktikan, bahwa media audio visual sangat kuat mempengaruhi perilaku anak.
"Anak adalah peniru ulung dari apa yang dia lihat langsung di lingkungannya atau dia lihat melalui tayangan di televisi dan film. Media audio visual seperti tayangan televisi dan film dapat mempengaruhi sikap dan perilaku penontonnya," katanya lagi.
Masih menurut Retno, tayangan televisi dan film bersifat audio visual sinematografis memang memiliki dampak besar terhadap perilaku penontonya, khususnya bagi yang belum memiliki referensi yang kuat, seperti anak-anak dan remaja. Meskipun dampak tayangan tersebut bukanlah faktor tunggal, bisa saja ada faktor lain yang memicu perilaku delinkuen seorang anak.
"Delinkuensi adalah tingkah laku yang menyalahi norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat," ucapnya.
Sebagian besar anak-anak delinkuen kata dia, berasal dari keluarga berantakan atau dikenal dengan istilah broken home. Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak beruntung jelas memberikan dampak masalah psikologis personal dan penyesuaian diri yang terganggu pada diri anak-anak.
"Sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku delinkuen," katanya.
Audio visual itu lanjut Retno, memiliki daya pengaruh yang tinggi terhadap anak. Apalagi jika anak menonton tanpa pendampingan dan edukasi dari orang dewasa. "Mereka belum sepenuhnya paham duduk persoalan, pertimbangan belum matang, cenderung menelan mentah-mentah apa yang mereka tonton dan cenderung meniru apa yang mereka anggap keren," kata Retno.
Oleh karena itu, ucapnya, di sinilah pentingnya para orangtua untuk melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap apa yang ditonton anak-anak mereka, baik melalui televisi maupun aplikasi youtube, mengingat mayoritas anak sudah memiliki telepon genggam.
"Kesalahan seorang anak tidak berdiri sendiri. Ada factor lingkungan yang mempengaruhinya. Pengasuhan yang positif dan kepekaan orang dewasa di sekitar anak sangat diperlukan, karena anak biasanya menunjukan tanda-tanda yang dapat dikenali ketika memiliki masalah," ungkapnya.
Misalnya, tambah Retno, perilaku anak yang pernah menyakiti hewan dari gambar-gambar yang dibuat anak pelaku. Apabila orang dewasa di sekitar anak tersebut dapat memiliki kepekaan maka si anak dapat dibantu untuk mehabilitasi psikologisnya, sehingga perilaku delikuensinya dapat diatasi, bahkan dihilangkan.