REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dian Fath Risalah, Haura Hafizhah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka kemungkinan dilakukannya persidangan in absentia terhadap tersangka kasus suap proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024, Harun Masiku (HAR). Persidangan in absentia bisa dilakukan apabila berkas perkara penyidikan perkara telah rampung, namun yang bersangkutan belum berhasil ditangkap.
"Untuk kasus suap menyuap di KPU itu, dari Harun Masiku ke eks Komisioner KPU itu kan yang kami tetapkan empat orang tersangka, yang tiga sudah di dalam, yang satu belum kami tangkap ya, masih di luar," ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/3).
"Kalau pun kemudian seandainya tak tertangkap sampai hari kami melimpahkan ke pengadilan, tak menutup kemungkinan sekali lagi itu tetap kami lanjutkan dengan proses persidangan in absentia," kata Ghufron, menambahkan.
Dalam istilah hukum, pengadilan in absentia adalah upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa yang bersangkutan. Ghufron mengatakan, pengadilan in absentia sangat mungkin dilakukan terhadap tersangka Harun Masiku, ataupun tersangka lain yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) lainnya, termasuk mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi (NHD)
Ghufron mengaku optimistis berkas perkara Harun Masiku nantinya bisa tetap dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi dengan proses pengadilan in absentia. Padahal, Harun belum pernah diperiksa penyidik KPK, namun KPK telah memiliki keterangan saksi maupun alat bukti lain yang diyakini bisa menjerat kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu
"Kami sudah merasa cukup, walaupun sebetulnya keterangan terdakwa tetap dibutuhkan, tetapi dengan keberadaan alat bukti yang lain dan saksi lain kami merasa optimistis untuk tetap bisa dilimpahkan perkara itu walau tak ada Harun Masiku," kata Ghufron
Ghufron melanjutkan prinsipnya bahwa persidangan itu harus memberikan kesempatan bagi tersangka untuk membela diri. Tetapi kesempatan membela diri itu kalau kemudian tak diambil oleh tersangka atau terdakwanya itu adalah hak dia.
"Kalau kemudian hak dia tak digunakan, tak kemudian berarti proses hukum bisa terhambat. itu dari sisi hak dia," katanya.
Dalam kasus suap proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024, KPK pada 9 Januari lalu telah mengumumkan empat tersangka. Sebagai penerima, yakni Wahyu Setiawan dan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF). Sedangkan sebagai pemberi, yakni kader PDIP Harun Masiku (HAR) yang saat ini masih menjadi buronan dan Saeful (SAE), swasta.
Dalam konstruksi perkara kasus itu, KPK menjelaskan bahwa pada awal Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan advokatnya Donny Tri Istiqomah mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara. Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019.
Gugatan itu kemudian dikabulkan Mahkamah Agung (MA) pada 19 Juli 2019. MA menetapkan partai adalah penentu suara dan pergantian antarwaktu. Penetapan MA itu kemudian menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun sebagai pengganti caleg yang meninggal tersebut.
Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti almarhum Nazarudin Kiemas yang juga adik dari mendiang Taufik Kiemas. Dua pekan kemudian atau tanggal 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan pada 23 September mengirimkan surat berisi penetapan caleg.
Selanjutnya, Saeful menghubungi Agustiani dan melakukan lobi untuk mengabulkan Harun sebagai PAW. Kemudian Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari Saeful kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun. Wahyu menyanggupi untuk membantu dengan membalas "siap, mainkan!".
Wahyu pun meminta dana operasional Rp900 juta untuk membantu Harun menjadi anggota DPR RI dapil Sumatera Selatan I menggantikan caleg DPR terpilih dari Fraksi PDIP dapil Sumatera Selatan I Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, Wahyu menerima Rp600 juta.
Target Firli
Ketua KPK Firli Bahuri, mengatakan, saat ini targetnya adalah akan mencari dan menangkap Harun Masiku. Pihaknya mengimbau kepada Harun Masiku agar cepat menyerahkan diri ke KPK.
"Target kami akan kejar Harun Masiku sampai tertangkap. Targetnya itu. KPK mengimbau dan meminta kepada yang bersangkutan untuk menyerahkan diri dan mempertanggung jawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku," katanya usai acara peluncuran laporan tahunan Ombudsman RI 2019 di Ballroom Hotel Sultan, Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (3/3).
Kemudian, ia melanjutkan KPK sudah melakukan upaya pencarian di puluhan lokasi tapi keberadaan yang bersangkutan tidak ada. Ketika disinggung mengenai batas waktu menangkap Harun, Firli menjawab akan terus mengejar sampai tertangkap.
"Kalau mereka tidak menyerahkan diri, kami akan tetap melakukan pencarian sampai yang bersangkutan tertangkap," kata dia.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai hambatan pencarian Harun berada di level pimpinan KPK yang tidak serius memproses Harun. "Sepanjang KPK tidak serius untuk mengembangkan perkara ini, menurut saya, saya sangsi keberadaan dia bisa terdeteksi. Justru sumbatan penanganan perkara ini ada di pimpinan KPK," kata peneliti ICW Donal Fariz.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Polri, Kombes Asep Adisaputra mengaku terus melakukan pengejaran terhadap dua DPO, yakni Harun Masiku dan Nurhadi. Lalu, ia melanjutkan tidak ada kendala dan tetap optimis untuk melakukan penyelidikan.
"Kami masih terus melakukan pengejaran terhadap Harun Masiku dan Nurhadi. Sementara ini kan keterangan dari Kabareskrim untuk Harun Masiku telepon genggamnya sudah tidak aktif," katanya di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Rabu (25/2).