REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif menyoroti pasal-pasal yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Peneliti KODE Inisiatif Rahmah Mutiara mengatakan sebanyak 31 RUU Cipta Kerja berpotensi inkonstitusional.
"Terdapat 54 putusan MK (Mahkamah Konsitusi) yang bertautan dengan undang-undang yang diubah oleh RUU Cipta Kerja. KODE Inisiatif mencatat, terdapat 31 putusan MK yang tidak diindahkan oleh pemerintah dalam menyusun substansi RUU Cipta Kerja," kata Rahmah dalam diskusi di Kantor Kode Inisiatif, Tebet, Jakarta, Kamis (5/3).
Rahmah mengatakan, tidak diindahkannya putusan MK tersebut terlihat dari tiga polarisasi. Pertama putusan MK tidak ditindaklanjuti di dalam RUU Omnibus Cipta. Kedua, tindaklanjut terhadap putusan MK bersifat parsial atau hanya sebagian yang diakomodasikan dalam RUU Cipta Kerja.
Ketiga, munculnya pasal zombie atau pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh MK akibat bertentangan dengan UUD 1945 dihidupkan kembali oleh pemerintah di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. "Segala potensi pelanggaran ruh dan norma konstitusi tersebut harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah, sebab penyimpangan sebagian pasal RUU Cipta Kerja terhadap konstitusi tidak dapat diartikan sebagai penyimpangan secara parsial melainkan penyimpangan sistemik," ujarnya.
Dalam paparannya, Rahmah mencontohkan salah satu putusan MK yang tidak ditindaklanjuti pemerintah dalam RUU Cipta Kerja yaitu putusan MK Nomor 55/PUU-IX/2011 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. MK telah menfasirkan pasal 169 ayat 1 huruf c terkait dengan perhomohanan pemutusan hubungan kerja yang bisa dilakukan oleh pekerja. Namun pemerintah menghapus secara keseluruhan ketentuan mengenai permohonan phk dapat dilakukan oleh pekerja.
"Itu kan berarti menghapus hak pekerja untuk memintakan phk jika kemudian perusahaan melakukan tindakan sewenang wenang," jelasnya.
Karena itu, Rahmah menuturkan, KODE Inisiatif memberkan sejumlah rekomendasi. KODE Inisiatif meminta agar Presiden dan DPR menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusi dan memastikan konstitusionalitas materi muatan dalam RUU Cipta Kerja mengakomodasikan tafsiran-tafsiran konstitusional Mahkamah Konstitusi. Kemudian, Presiden dan DPR juga harus mengkaji secara komprehensif implikasi dari semua aturan yang dinormakan di dalam RUU Cipta Kerja.
Hal tersebut lantaran dampak pengaturan RUU Cipta Kerja bersifat luas dan sistemik. "Presiden dan DPR harus membuka pintu yang luas dan menyediakan ruang yang besar bagi para pihak yang terdampak langsung RUU Cipta Kerja serta mempertimbangkan setiap aspirasi secara adil dan berorientasi pada kepentingan publik, bukan kepentingan partisan atau golongan," ungkapnya.