Kamis 05 Mar 2020 00:28 WIB

Hehamahua Beberkan Potensi Penyalahgunaan Jabatan Dewas

Abdullah Hehamahua menjadi ahli di sidang uji materi UU KPK di MK.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Saksi ahli yang merupakan mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua (kiri), Pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti (tengah), dan Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara B. Herry Priyono (kanan) menyampaikan pandangannya pada sidang uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (4/3/2020).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Saksi ahli yang merupakan mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua (kiri), Pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti (tengah), dan Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara B. Herry Priyono (kanan) menyampaikan pandangannya pada sidang uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (4/3/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua, menjadi ahli pemohon dalam uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia melihat adanya potensi penyalahgunaan jabatan yang akan dilakukan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

"Dalam UU 19 Tahun 2019 mereka tidak tertakluk pada SOP, kode etik, dan peraturan kepegawaian, maka berpotensi untuk terjadi penyalahgunaan wewenang dan kesempatan," ujar Hehamahua di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (4/3).

Selain itu, ia juga mengatakan, di dalam UU KPK lama, yakni UU Nomor 30 tahun 2002, disebutkan struktur KPK terdiri dari Pimpinan KPK, penasihat, dan pegawai. Namun di UU KPK yang baru, struktur organisasi berubah menjadi Dewas, pimpinan, dan pegawai.

"Berarti pimpinan KPK hanya sebagai EO, melaksanakan tugas-tugas perintah dari Dewas. Maka kemudian potensi pimpinan KPK menjadi sangat terganggu," kata dia.

Lebih lanjut ia mengatakan, di dalam UU KPK baru juga disebutkan tentang tugas dan wewenang Dewas, yakni menyusun kode etik serta melakukan persidangan terhadap pelanggaran kode etik baik yang dilakukan pimpinan maupun pegawai KPK. Tapi, menurut Hehamahua, Dewas tidak takluk pada yang mereka buat itu.

"Tetapi Dewas tidak takluk terhadap UU, kode etik, SOP, pada peraturan kepegawaian KPK. Saya sebagai penasehat KPK takluk. Di sinilah terjadi potensi penyalahgunaan jabatan," jelas dia.

Sebelumnya, dalam perkara yang sama, mantan pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, Saut Situmorang, dan sejumlah pegiat antikorupsi meminta MK menghadirkan Presiden Joko Widodo di persidangan. Presiden diminta untuk memberikan keterangan terkait perkara uji formil revisi UU KPK.

"Apakah memungkinkan perkara nomor 79 meminta Mahkamah menghadirkan presiden di ruangan ini karena banyak persoalan yang saya rasa tidak bisa dijawab perwakilan dan harus dijawab Presiden langsung," ujar kuasa mantan pimpinan KPK dan pegiat antikorupsi, Kurnia Ramadhana, dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/2).

Dalam kesempatan tersebut, ahli yang dihadirkan pemohon, akademisi hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Muchtar pun menuturkan menteri tidak dapat mengaku sebagai presiden, apalagi dalam tahapan persetujuan rancangan undang-undang. Ia mengaku ragu Presiden Jokowi mengetahui hal-hal yang terjadi dalam proses pembahasan hingga pengesahan karena diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

"Makanya menurut saya, dipanggil, didengar keterangannya apa sebab musabab Presiden tidak menandatangani. Harusnya ada penjelasan itu, apa karena tidak setuju isinya, atau kalau, misalnya, aspirasi masyarakat menolak tidak menandatangani?" ujar Zainal.

Menanggapi permintaan tersebut, Ketua MK Anwar Usman menuturkan keputusan mengundang Presiden Jokowi ke dalam sidang akan ditentukan dalam rapat permusyawarahan hakim (RPH).

"Yang diminta hadir sebenarnya Presiden, tetapi sudah dikuasakan. Menurut undang-undang bisa memberi kuasa kepada menterinya. Usulan tambahan kuasa pemohon akan dirapatkan lagi dalam RPH nanti, lihat urgensinya," tutur anwar Usman.

Adapun, pemohon dalam permohonannya mempertanyakan keabsahan secara prosedural pembentukan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Para pemohon menilai pembentukan UU KPK tidak sesuai dengan asas pembentukan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement