REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz meminta revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dibarengi perbaikan UU Partai Politik. Sebab, menurut dia, permasalahan demokrasi disebabkan karena partai politik itu sendiri sebagai produsen aktor politik maupun kepala daerah.
"Salah satunya kami mendorong agar simultan perbaikan paket undang-undang pemilu dengan partai politik, itu yang jarang tersentuh karena hanya bicara soal pemilu tetapi kemudian ke partainya ditinggalkan," ujar Donal di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu (4/3).
Ia meminta pemerintah dan DPR memperkuat serta memperbaiki tata kelola partai politik sebagai organisasi politik yang berperan dalam penyelenggaraan pemilu. Jika tidak, tujuan demokrasi atas pelaksanaan pemilu itu seperti pemimpin yang berkualitas dan berintegrasi tidak tercapai.
ICW bersama penggiat pemilu lainnya menyambangi Kemendagri menyampaikan pandangan pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 terkait model pemilu serentak. Dalam kesempatan itu, ICW menyampaikan beberapa alasannya agar pemerintah segera memperbaiki regulasi partai politik.
Salah satunya, praktik mahar politik yang terus berkembang dalam realitas demokrasi. Menurut Donal, kepala daerah mengeluarkan puluhan juta hingga triliunan rupiah untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada).
Beberapa pihak menuding uang itu untuk masyarakat atau konstituen. Padahal, kata dia, uang itu justru digunakan oleh oknum-oknum pengurus partai politik dalam kandidasi partai politik.
"Padahal uang itu justru sering ditilap oleh oknum-oknum pengurus partai politik dalam proses kandidasi, itu yang kemudian sering kita sebut dengan kandidasi buying atau mahar politik kalau terminologi kita," kata Donal.
Di sisi lain, ia mengatakan, kontestasi calon kepala daerah di partai politik lebih ditentukan elite daripada mekanisme dari bawahnya sendiri. Sehingga, basis pencalonan kepala daerah dari partai bukan kompetensi dan kualifikasi, melainkan uang, relasi kuasa, dan nepotisme.
Ia memandang, fenomena mencalonkan anak pejabat maju dalam pilkada menjadi bukti lemahnya partai politik dalam menyediakan beberapa pilihan pemimpin daerah. Dengan demikian, ICW juga mengusulkan sejumlah cara memperbaiki partai politik, salah satunya mengenai pendanaan partai politik.
Namun, lanjut dia, tak hanya sampai perbaikan pendanaan partai politik, melainkan diikuti dengan perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa partai. Tak hanya itu, perbaikan juga dilakukan terhadap kaderisasi partai politik, rekrutmen politik, dan rekrutmen calon kepala daerah.
"Itu harus satu paket yang menyeluruh atau menyatu dalam revisi undang-undang partai politik, karena kalau tidak, kontestasi di rezim kepemiluannya dikelola, tapi di kepartaiannya sebagai sumber kontestasi atau distribusi calon kepala daerah itu sendiri tidak dikelola akhirnya yang terjadi adalah bapak mencalonkan anak, itu adalah problem yang muncul dalam demokrasi kita hari ini," jelas Donal.
Sementara itu, Plt Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar mengatakan, pihaknya hanya di posisi mendengarkan masukan-masukan berbagai pihak terkait undang-undang bidang politik ini. Menurut dia, pemerintah masih perlu mendengarkan beberapa masukan dari pihak lain.
"Apakah substansinya Undang-Undang Pemilu mengkait dengan Undang-Undang partai politik, apalagi pasca UU MK enggak membedakan rezim pemilu dan rezim pilkada," kata Bahtiar.
Ia mengatakan, Kemendagri juga akan mengundang penyelenggara pemilu baik Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Untuk diketahui, revisi UU Pemilu merupakan inisiatif DPR RI yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.