Jumat 28 Feb 2020 23:42 WIB

Akademisi: Wacana Reshuffle di 100 Hari Kerja Amat Prematur

Waktu 100 hari kerja dinilai tidak bisa jadi langkah mengidentifikasi kinerja menteri

Presiden Joko Widodo (kelima kiri) menyampaikan pengarahan dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Bogor, Jawa Barat. Waktu 100 hari kerja dinilai tidak bisa jadi langkah mengidentifikasi kinerja menteri
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Presiden Joko Widodo (kelima kiri) menyampaikan pengarahan dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Bogor, Jawa Barat. Waktu 100 hari kerja dinilai tidak bisa jadi langkah mengidentifikasi kinerja menteri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menilai argumen, narasi dan penilaian sejumlah pihak tentang kinerja para menteri dalam 100 hari kerja cukup untuk menentukan reshuffle kabinet cenderung prematur dan misleading.

"Cenderung “prematur” dan “misleading”, tetapi, waktu pendek tersebut setidaknya bisa menjadi langkah awal untuk mengidentifikasi arah kinerja para menteri," kata Khoirul Umam, di Jakarta, Jumat (28/2).

Dia menilai prematur karena, masa tiga bulan awal memerintah kecenderungannya lebih banyak dihabiskan untuk proses penyesuaian dan pemetaan langkah menuju implementasi kebijakan yang sesungguhnya. "Terlebih lagi, dalam tradisi siklus keuangan negara, APBN belum cair hingga Maret 2020 ini. Praktis, APBN baru mulai berjalan efektif pada bulan Maret hingga April," kata dia.

Hal itu, menurut Khoirul Umam yang membuat penilaian kinerja Menteri di masa-masa awal biasanya cenderung klise dan bias pemberitaan semata, bukan pada penilaian fundamental terhadap kebijakan-kebijakan mendasar.

Kemudian, dia menilai isu reshuffle itu "misleading" karena sejumlah pihak mengukur kinerja menteri berdasarkan basis penilaian survei opini publik yang dipengaruhi besar oleh persepsi yang terbangun pasca pemilu.

"Dalam situasi tersebut, persepsi publik cenderung mengidap sindrom “post-election bias” atau biasnya cara pandang massa akibat persepsi lama yang terbentuk selama proses politik dan kampanye di Pemilu sebelumnya," ucapnya.

Khoirul Umam mengatakan, selain argumen yang diajukan cenderung bersifat politis, model-model penilaian ala survei itu juga cenderung menggiring opini politik publik secara tidak produktif.

"Lembaga-lembaga survei seharusnya bisa menjadi Lembaga think tank yang baik, dengan tidak mencampuradukkan antara persepsi publik yang dipengaruhi post-election bias dengan instrumen penilaian kinerja, yang umumnya dipahami oleh responden tertentu yang memahami arah perbedaan kebijakan publik," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement